Opini Publik
(Menyambut HUT PGRI dan Hari Guru Nasional) Guru dan Pendidikan 4.0
Psiko-analis berkebangsaan Austria, Sigmund Freud dalam esainya Analysis Terminable and Interminable mengungkapkan guru tidak akan pernah memuaskan
Oleh: Marfuah, Widyaiswara PPPPTK Matematika DI Yogyakarta
BANJARMASINPOST.CO.ID - Psiko-analis berkebangsaan Austria, Sigmund Freud dalam esainya Analysis Terminable and Interminable mengungkapkan guru tidak akan pernah memuaskan semua orang. Pendapat Freud bukan tanpa alasan. Tugas guru bukan hanya menyampaikan materi pelajaran, tapi juga memastikan siswanya mendapatkan bekal kecakapan hidup, nilai, karakter, dan kompetensi.
Bagaimana guru menyiapkan masa depan? Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam sebuah publikasinya menyebutkan masa depan mungkin tidak dapat diprediksi, tetapi tren perisitiwa hari ini menjadi gambarannya. Sebagai pendidik, guru harus mengikuti perkembangan yang terjadi, kemudian membantu siswa cara memanfaatkan perkembangan tersebut.
Kemajuan teknologi merupakan tren abad 21 yang tidak sekadar gaya hidup, melainkan budaya global dalam seluruh aspek. Teknologi di dunia pendidikan bukan lah hal baru. Dulu saat teknologi masuk ke ranah pendidikan, suara pro-kontra begitu mencuat terkait proporsi dampak positif dan negatif yang berpotensi timbul. Sekarang, hal itu sudah berfokus pada kapan dan bagaimana teknologi efektif digunakan untuk pembelajaran.
Menarik sekali mencermati hasil survei tahunan Cambridge Assessment International Education. Survei ini melibatkan guru dan siswa dari berbagai negara sebagai responden, di antaranya 637 guru serta 502 siswa dari Indonesia. Kabar gembiranya, jawaban siswa Indonesia terkait pengerjaan PR, sekitar 81 persen memanfaatkan smartphone dan 84 persen memanfaatkan laptop.
Hal ini menunjukkan tingginya penetrasi teknologi di kehidupan siswa di luar lingkungan sekolah. Namun kabar buruknya, 92 persen guru Indonesia memilih whiteboard sebagai preferensi teknologi yang paling sering digunakan di kelas. Angka ini paling tinggi melebihi Malaysia, Pakistan dan Argentina.
Memang survei ini tidak menggambarkan keseluruhan guru dan siswa di Indonesia. Teknologi juga bukan tujuan utama pembelajaran, melainkan sebatas tool. Meski demikian, yang perlu digarisbawahi adalah kesiapan siswa kita dalam menggunakan teknologi ternyata tidak kalah dari siswa negara lain.
Guru sebagai maestro dalam memahami pola pikir siswa tentunya dapat melihat hal ini sebagai peluang besar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Apalagi siswa tumbuh di era Revolusi Industri 4.0 yang identik dengan artificial intelegence, otomasi dengan Internet, big data, dan augmented reality. Namun, kesiapan kita menuju Revolusi Industri 5.0 masih meragukan, karena pendidikan kita terjebak di tahap 3.0, yakni pengenalan era digital.
Hambatan Penggunaan Teknologi
Secara garis besar, ada tiga hambatan penggunaan teknologi dalam pendidikan di Indonesia, yakni ketersediaan infrastruktur teknologi di sekolah, kompetensi guru, 30 motivasi diri guru terkait pentingnya teknologi untuk profesionalisme. Sulit untuk membahas isu pendidikan 4.0 jika infrastruktur masih jadi kendala. Di pedalaman Indonesia, banyak guru hebat dan berdedikasi namun belum akrab dengan teknologi karena tak tersedianya infrastruktur teknologi di sekolah.
Akses listrik dan koneksi Internet yang memadai merupakan syarat utama pendidikan 4.0 sebelum piranti teknologi lainnya. Percepatan pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah selama lima tahun terakhir ini mungkin telah melesatkan Indonesia ke ketersediaan listrik dan jaringan mobile yang tidak kalah dengan negara Asia Tenggara lainnya (Worldbank, 2017). Program-program digitalisasi sekolah dan penyediaan konten belajar yang bebas akses juga memakan anggaran tidak sedikit. Sudah saatnya fokus pada bagaimana memaksimalkan manfaat infrastruktur ini untuk pendidikan.
Perlu upaya guna memahamkan guru-guru akan pentingnya penguasaan teknologi dalam pembelajaran. Salah satunya dengan grand-design pelatihan dan pemberdayaan yang mengombinasikan kompetensi guru, yakni penguasaan konten, pedagogik dan teknologi. Ketika pedagogik dipahami sebagai seni interaksi antara guru dan siswa, maka di dalamnya terinklusi penanaman nilai karakter dan kebudayaan, kemampuan berpikir tingkat tinggi, literasi, dan penyiapan kecerdasan abad 21 khususnya penggunaan teknologi.
Namun di masa ketika bangsa kita harus berpacu mendorong percepatan teknologi untuk pembelajaran, penting untuk mengeksplisitkan teknologi dari pedagogik. Sehingga tidak berlebihan jika konten, pedagogik dan teknologi adalah segitiga emas pendidikan 4.0 yang harus dikuasai guru mengingat beratnya ekspektasi masyarakat terhadap hasil pendidikan. Inilah outcome yang harus dihasilkan pelatihan guru.
Pelatihan yang diperlukan adalah pelatihan yang mengaitkan komponen segitiga emas 4.0 dalam pembelajaran, bukan pelatihan step by step penggunaan teknologi. Pelibatan tenaga kependidikan yang kompeten penting untuk menjamin kualitas pelatihan.
Bagaimana pelatihan memberi dampak pada proses belajar siswa juga harus terevaluasi dan terpantau. Ini mengarah pada persoalan ketiga, yakni motivasi diri dalam penggunaan teknologi. Mewahnya infrastruktur atau tingginya keikutsertaan pelatihan akan sia-sia jika tidak berdampak pada motivasi dan keyakinan guru tentang penggunaan teknologi pada proses pembelajaran yang diampunya.
Untuk itu, perlu disiasati dengan mekanisme pelatihan yang mendampingi dan mengevaluasi proses pembelajaran oleh guru hingga di ruang kelas. Diperlukan pengoptimalan peran KKG/MGMP dan sistem peningkatan kompetensi berbasis zonasi di seluruh kabupaten/kota. KKG/MGMP diharapkan mampu memompa motivasi guru sekaligus sebagai wadah bertukar pikiran dan merumuskan solusi masalah yang dihadapinya.
Dukungan Disdik Daerah
Dinas pendidikan daerah juga diharapkan secara pro aktif memberikan dukungan terhadap peningkatan kompetensi guru. Misalnya dengan pengalokasian anggaran pendidikan untuk ‘menghidupi’ KKG/MGMP serta kebijakan-kebijakan pendidikan yang sinkron dan responsif demi percepatan peningkatan kualitas sumber daya manusia secara nasional.
Tidak lupa, motivasi guru sangat ditentukan oleh dukungan kepala sekolah serta pengawas. Karenanya, penting untuk mensosialisasikan urgensi pendidikan 4.0 ini kepada mereka.
Penggunaan teknologi dalam pembelajaran bukanlah simsalabim suatu obat mujarab yang mengatasi semua masalah pembelajaran dan meniadakan tugas guru. Perkembangan teknologi justru menambah tantangan bagi guru, setelah penguasaan konten dan pedagogik. Namun, guru adalah pendidik sekaligus ilmuwan dan pembelajar.
Diperlukan gerak langkah bersama semua pihak untuk melalui pendidikan 4.0. Apresiasi tinggi diberikan kepada guru-guru yang sudah lebih dulu berinovasi dalam pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran tanpa menihilkan penguasaan konten dan pedagogik. Mereka mesti dijadikan agen percepatan pendidikan 4.0, baik melalui KKG/MGMP atau komunitas virtual. (*)