Krisis Garuda Indonesia
Kini Terancam Pailit, Simak Sejarah Garuda Indonesia yang Berawal dari Pesawat Militer
Saat ini Garuda Indonesia sedang menghadapi sidang gugatan PKPU yang bisa berujung status pailit. Simak sejarah Garuda Indonesia
Karena itulah pada masa peralihan ini Direktur Utama pertama GIA merupakan orang Belanda, Dr. E. Konijneburg. Armada pertama GIA pertama pun merupakan peninggalan KLM-IIB.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia (RI) oleh Belanda, yaitu pada 28 Desember 1949, dua pesawat Dakota (DC-3) berangkat dari bandar udara Kemayoran, Jakarta menuju Yogyakarta untuk menjemput Soekarno dibawa kembali ke Jakarta yang sekaligus menandai perpindahan kembali Ibu Kota RI ke Jakarta.
Sejak saat itulah GIA terus berkembang hingga dikenal sekarang sebagai Garuda Indonesia.
Setahun kemudian, pada 1950, Garuda Indonesia menjadi perusahaan negara.
Pada periode tersebut, Garuda Indonesia mengoperasikan armada dengan jumlah pesawat sebanyak 38 buah yang terdiri dari 22 DC-3, 8 Catalina kapal terbang, and 8 Convair 240.
Armada Garuda Indonesia terus bertambah dan akhirnya berhasil melaksanakan penerbangan pertama kali ke Mekah membawa jemaah haji dari Indonesia pada 1956.
Pada 1965, penerbangan pertama kali ke negara-negara di Eropa dilakukan dengan Amsterdam sebagai tujuan terakhir.

Sumbangan Emas Rakyat Aceh
Sementara itu seperti diberitakan Harian Kompas, 23 Oktober 2009, yang dilansir Kompas.com, sejarah Garuda Indonesia bermula dari usaha Soekarno agar republik yang masih berusia seumur jagung ini bisa memiliki armada pesawat udara.
Pada 16 Juni 1948, Presiden Soekarno berpidato di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), meminta rakyat menyumbang untuk republik yang masih rentan karena kekosongan kas negara.
Dengan bantuan dan pengaruh dari Tengku Muhammad Daud Beureueh, dalam waktu tidak begitu lama terkumpul emas sebanyak 20 kilogram.
Semangat rakyat Aceh menyumbang dana ke republik tersebut tak lepas dari euforia berakhirnya penjajahan Belanda. Sumbangan banyak berasal dari para saudagar kaya Aceh. Rakyat kecil pun banyak berkontribusi menyumbang emas yang disimpannya secara sukarela.
Aceh sendiri merupakan salah satu daerah pertama bekas Hindia Belanda yang langsung menyatakan mendukung dan bergabung dengan Indonesia. Daud Beureueh juga berharap, dengan bergabung dengan republik, Aceh nantinya bisa menjadi provinsi dengan otonomi khusus.
Dengan uang sumbangan dari rakyat Aceh, pemerintah Soekarno lewat Wieweko, seorang perwira AURI, membeli dari Singapura sebuah pesawat C-47 Dakota yang kemudian dioperasikan Angkatan Udara sebagai alat transportasi bagi pejabat negara.
Sebagai tanda terima kasih kepada rakyat Aceh, pesawat itu diberi nama Seulawah (Gunung Emas), sebuah nama gunung di Aceh.