Berita HST
Merantau Sejak Remaja, Korban Longsor Tambang Emas Kotabaru Janji Pulang Jika Punya Uang Untuk Modal
Duka duka cita menyelimuti keluarga Abdul Wahid (35). Salah satu korban tewas yang tertimbun tanah longsor tambang emas di Kotabaru
Penulis: Hanani | Editor: Hari Widodo
BANJARMASINPOST.CO.ID, BARABAI-Duka duka cita menyelimuti keluarga Abdul Wahid (35). Salah satu korban tewas yang tertimbun tanah longsor tambang emas di desa Buluh Kuning Kecamatan Sungai Durian Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan, pada Selasa 27 September 2022.
Rabu (28/9/2022) jenazah Abdul Wahid baru saja dimakamkan di tempat pemakaman umum kampung Karuwing Desa Perumahan Kecamatan Labuan Amas Utara HST, pukul 11.00 wita.
Istri almarhum Nurislamiah (37) tak henti menyeka air mata. Begitu pula dengan ibunya, Rusminah dan Ayahnya Jirmi. Tak mampu membendung kesedihan karena anak sulungnya pergi selama-lamanya di perantauan.
Istri korban sendiri saat ini sedang mengandung anak almarhum.
Baca juga: Warga Tala yang Selamat dari Longsor Kotabaru Trauma, Begini Perjuangannya saat Tertimpa Longsoran
Baca juga: Suasana Pemakaman Dua Korban Longsor Tambang Emas Kotabaru di Kampung Halaman Tanahlaut
Baca juga: Polda Kalsel Kerahkan Brimob dan Samapta Cari Korban Longsor di Tambang Emas Kotabaru
Ditemui banjarmasinpost.co.id di rumah duka, Nurislamiyah mengatakan sudah 2 bulan tak bertemu suaminya tersebut.
Terakhir dia ikut ke lokasi tambang emas tersebut beberapa bulan yang lalu.
Pertama kali bertemu sebelum akhirnya menikah dengan suami saya bekerja membuka warung di sekitar tambang tersebut.
"Setelah menikah saya diminta ke kampung halaman suami menemani ibu dan bapaknya di kampung Karuwing Desa Perumahan ini,"tuturnya sambil menyeka air mata.
Menurut Nurislamiyah, sebenarnya dia ingin menemani suaminya tersebut bekerja di lokasi tambang yang jauh dari keramaian atau di tengah hutan tersebut.
Namun suaminya bilang setelah berhasil mendapatkan uang yang cukup, akan balik ke kampung halaman untuk merintis usaha.
Nurislamiah sendiri mengaku tahu betul pekerjaan suaminya itu sangat beresiko merenggut nyawa.
Masalahnya, dia sering keluar masuk lubang galian dengan kedalaman cukup dalam. Bahkan kadang pernah menginap di dalam lubang galian tambang emas demi mengambil batu (sebutan kalangan penambang manual di sana untuk emas).
Malam sebelum kejadian dia mendapat laporan dari anaknya yang menggantikan dirinya berwarung di sekitar lokasi tambang tersebut bahwa ayahnya saat kejadian sedang duduk-duduk santai di warung.
Saat itu bersama teman-teman sesama buruh tambang menunggu pembagian uang hasil bekerja mendulang dari orang yang dipanggil bos.
Namun malang, longsor dari atas gunung tiba-tiba datang menimbun yang ada di bawahnya. Jenazah Wahid kata Nurislamiah, baru bisa dievakuasi turun dari gunung menggunakan tandu sekitar 6 jam.
Selanjutnya langsung dibawa ambulans ke Barabai Selasa malam, tanpa dibersihkan terlebih dahulu jasadnya yang penuh tanah.
"Kami bersihkan sendiri jenazahnya. Sempat tertahan di Polsek, katanya mau divisum. Karena tak kunjung dilakukan, akhirnya dibawa pulang,"katanya.
Bagaimana almarhum bisa bekerja menjadi buruh tambang di desa terpencil tersebut? Rusminah ibu korban menyatakan sejak remaja anaknya tersebut memang suka merantau.
Sebelum ikut bekerja sebagai buruh tambang di Sungai Durian tersebut pernah juga ikut mendulang di Martapura Kabupaten Banjar.
Sulitnya mendapatkan pekerjaan di kampung halaman membuat anaknya tersebut berupaya memenuhi kebutuhan keluarga.
Ayahnya, Jirmi juga bekerja sebagai petani. Sampai berkeluarga pun Wahid tetap merantau dan tak mau berhenti bekerja mendulang emas secara manual yang resikonya tinggi tersebut.
"Dia janji akan pulang dan menetap di kampung kalau sudah punya uang yang cukup untuk modal usaha dan menghidupi keluarga,"ungkap Rusminah.
Diceritakan, anaknya tersebut sudah tiga kali gagal berumah tangga dan terakhir menikah dengan Nurislamiyah, istrinya sekarang.
Korban sendiri menurut ibunya anak yang baik dan berbakti. Tiap pulang kampung selalu memberikan uang kepada ibu dan bapaknya serta saudara-saudaranya. Bahkan terakhir pulang, sekitar 2 bulan yang lalu dia terlihat royal mentraktir orang-orang di kampung, meski penghasilan yang dibawa pulang terbilag tak begitu besar.
"Terakhir pulang dia pamit balik ke lokasi tambang sambil minta doakan dan minta Ridho dari saya. Dia membawa salah satu kerudung saya. Hanya untuk diikatkan ke pinggang ketika kangen dengan saya,"tutur Rusminah.
Almarhum sendiri memiliki satu anak dari pernikahan sebelumnya. Namun tersebut tinggal di mantan istrinya. Sedangkan istrinya sekarang baru hamil muda.

Kampung Karuwing Desa Perumahan Kecamatan Labuan Amas Utara adalah dengan akses jalan yang sempit.
Akses ke desa tersebut harus melewati jembatan yang juga sempit di Desa Pamangkeh seberang.
Rumah almarhum dan ibunya itu berada di ujung jalan buntu.
Baca juga: Korban Sebenarnya 17 Orang, 5 Orang Masih Dicari di Longsor Tambang Emas Sungai Durian Kotabaru
Menurut warga setempat sulitnya mencari nafkah di desa membuat para pemuda di sana banyak yang mencari pekerjaan ke daerah lain.
Apalagi potensi lahan pertanian berupa lahan rawa di desa tersebut tak bisa digarap maksimal karena sering diterjang banjir.
Pihak keluarga pun mengakui almarhum bekerja di pertambangan ilegal. Demikian menurut istri korban para pekerja di sana hanya sebagai buruh yang berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka untuk keluarga. (Banjarmasin post.co.id/hanani)