Tajuk
Mendulang Suara di Kawasan Pendidikan
Kampanye di kawasan pendidikan memang bisa memberi dampak positif sebagai cara menyosialisasikan pemilu.

BANJARMASINPOST.CO.ID - DI tengah tahapan menuju Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tengah melakukan proses legal drafting regulasi teknis yang mengatur sosialisasi partai politik.
KPU sedang mempertimbangkan kemungkinan partai politik (parpol) melakukan sosialisasi di kawasan pendidikan, sebagaimana Pasal 280 ayat 1 huruf h UU Nomor 7 Tahun 2017 bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas.
Tempat pendidikan diartikan sebagai gedung dan atau halaman sekolah dan atau perguruan tinggi yang nanti dapat dipertimbangkan dalam proses legal drafting mengenai aturan teknis sosialisasi parpol peserta pemilu.
Dalam tataran ideal, kampanye di kawasan pendidikan memang bisa memberi dampak positif sebagai cara menyosialisasikan pemilu dan mendialogkan ide-ide dalam atmosfir kelimuan.
Kampanye di lingkungan pendidikan juga sekaligus menjaring pemilih muda yang menurut prediksi mendekati 60 persen jumlah pemilih.
Sebagaimana hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), pemilih muda akan mendominasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dengan jumlah sekitar 190 juta warga.
Angka yang cukup besar dan bisa disebut sangat menggiurkan bagi parpol yang berebut kursi di parlemen.
Namun harus diingat, politik tak hanya berbicara tataran ideal.
Dalam tataran realita, KPU perlu membuat rambu-rambu yang tegas agar tidak memantik konflik.
Bahkan sekolah juga disebut sejumlah pihak sebagai areal netral.
Dari pengalaman dua kali pilpres dapat dilihat mayoritas pemilih belum cukup dewasa, berbeda atau beradu gagasan dan ide.
Belum lagi ancaman polarisasi yang tercipta di lingkungan pendidikan.
Bagaimana repotnya publik menghadapi perpecahan isu kampret versus cebong dan terbaru kadrun versus buzzeRp.
Bila memang kampanye di lingkungan pendidikan disepakati, selain KPU dan Bawaslu sebagai wasit, tak kalah penting adalah komitmen parpol.
Jangan sampai kampus hanya jadi mesin pendulang suara lima tahunan, tanpa memberi pendidikan politik memadai dan mengabaikan aspirasi kalangan akademisi. (*)