Opini
Panglima Perang dan Tukang Minyak
ADA suatu kisah yang menarik dalam buku “The Incredible Habits” karya Dewi Indra. Di Tiongkok dahulu kala, ada seorang panglima perang
Oleh: Hadi Rahman
Kepala Perwakilan Ombudsman Kalsel
ADA suatu kisah yang menarik dalam buku “The Incredible Habits” karya Dewi Indra. Di Tiongkok dahulu kala, ada seorang panglima perang yang terkenal karena keahlian memanahnya.
Suatu hari, ia ingin memperlihatkan keahliannya ini kepada rakyat dan memerintahkan prajuritnya untuk menyiapkan papan sasaran dan seratus buah anak panah. Setelah siap, panglima masuk lapangan dan mulai memanah.
Hasilnya luar biasa. Seratus anak panah dilepas, seratus pula tepat sasaran. Rakyat bersorak, “Panglima hebat!”. Rakyat berdecak kagum dan memuji kehebatan sang panglima perang.
Di tengah keriuhan itu, muncul seorang tua penjual minyak menyeletuk, “Panglima memang hebat! Tapi itu keahlian yang didapat dari kebiasaan yang terlatih.” Orang-orang lantas tercengang dan bertanya-tanya, apa maksud orang tua ini. Tukang minyak kemudian berucap “Tunggu sebentar”.
Baca juga: Sejumlah Karhutla Wilayah di Kabupaten Tapin Jadi Atensi, Polres Sampaikan Imbauan dan Pemetaan
Baca juga: Aktivitas Tambang Bisa Jadi Batu Sandungan untuk Menjadikan Meratus sebagai Geopark di Kalsel
Dia lalu mengambil sebuah uang koin Tiongkok kuno yang berlubang di tengahnya. Koin itu diletakkan di atas mulut botol minyak yang kosong.
Dengan yakin, si penjual mengambil gayung penuh berisi minyak dan selanjutnya menuangkan lewat lubang kecil di tengah koin tadi sampai botol minyak terisi penuh. Hebatnya, tidak ada setetes pun minyak yang mengenai permukaan koin tersebut. Orang-orang kembali bersorak, mengagumi keahlian sang tukang minyak.
Moral dari kisah dimaksud disimpulkan oleh sang penulis buku bahwa kebiasaan yang diulang secara terus menerus, akan melahirkan keahlian. Hasil dari kebiasaan yang terlatih dapat membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah dan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, keahlian merupakan modal dasar dan kewajiban yang harus dipenuhi. Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik jelas menetapkan bahwa pelaksana (pejabat, pegawai ataupun petugas) pelayanan publik harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugasnya, sebagai perwujudan dari asas keprofesionalan.
Termasuk dalam penjabaran kompetensi yaitu kemampuan yang meliputi pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan pengalaman.
Maka wajar apabila masyarakat atau pengguna pelayanan publik khususnya menuntut pelaksana pelayanan publik adalah orang yang berkompeten dalam melayani.
Baca juga: Gagal Jadi Caleg Pemilu 2024 di Kabupaten HST, Pelapor akan Mengadu ke Mahkamah Partai Golkar
Baca juga: Peluang Erick Thohir Jadi Pendamping Prabowo Subianto. Ini Prediksinya
Faktanya, pengaduan dari masyarakat ke Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) terkait pelaksana yang tidak kompeten terus muncul setiap tahun. Hal ini merupakan suatu bentuk maladministrasi karena lalai atau abai dalam melaksanakan kewajiban penyelenggaraan pelayanan publik sehingga menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil bagi masyarakat atau perorangan.
Bayangkan saja, misalnya, apabila dunia kesehatan kita dilayani oleh dokter dan tenaga kesehatan yang tidak memiliki keterampilan atau keahlian yang memadai serta tidak ditunjang dengan bukti atau pengakuan kompetensi yang legal.
Seperti kasus-kasus yang viral dalam beberapa waktu terakhir. Pertama, bayi tertukar di Bogor dan kedua, dokter gadungan yang berpraktik di salah satu klinik di Jawa Tengah. Banyak contoh lain di luar dunia kesehatan.
Seperti, kesalahan dalam pencantuman identitas diri pada dokumen administratif, kegagapan dalam pemanfaatan teknologi di satuan pendidikan dan kurangnya pemahaman terkait pemberlakuan regulasi baru. Tentu dalam hal ini banyak masyarakat yang merasa dirugikan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.