Opini
PNS, Profesionalisme dan Korpri
APA yang terbersit dipikiran kita tentang PNS. Ya mungkin kita teringat dengan cita-citanya, sebagaimana sebutan PNS
Oleh: Muslimi HT
Penulis lepas, Alumni APDN Banjarbaru 1989
APA yang terbersit dipikiran kita tentang PNS. Ya mungkin kita teringat dengan cita-citanya, sebagaimana sebutan PNS -- Profesional, Netral dan Sejahtera.
Wacana ini menarik untuk dilirik, di tengah Korpri sedang memasuki usia lebih setengah abad, pada tanggal 29 November ini.
Meskipun skema pelayanan publik pada era digital saat ini ditandai-dimana teknologi menjadi puncak transformasi peradaban manusia, harus diakui bahwa masyarakat tetap menuntut kehadiran negara melalui, pemerintahan dan aparaturnya, yang dinamis dan profesional dalam merespon perubahan.
Upaya upaya memacu kinerja dan profesionalisme PNS berhadapan secara diametral dengan kultur birokrasi dan perlunya penguatan peran kelembagaan seperti Korpri.
Baca juga: Menjadi Pengawas Pemilu
Baca juga: Kebakaran Hanguskan Satu Rumah di Mahang Matang Landung Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalsel
Penguatan
Sebagai komponen pertama yang mengisi birokrasi modern , PNS menempati posisi yang luar biasa dalam tugas tugas publik. Dengan posisinya itu, menjadi sangat luas kuasanya, juga perlu dilakukan penguatan, bisa lewat mediasi pelatihan maupun pembinaan.
Sedikitnya ada 2 (dua) faktor yang menyebabkan itu dilakukan. Pertama, adalah untuk menjamin terwujudnya pegawai yang profesional, netral - sehingga optimal dan tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan. Inilah idealisme yang dibangun melalui spirit UU ASN, maupun subtansi yang diamanatkannya melalui merit system.
Kedua, adalah karena faktor perubahan lingkungan organisasi. Perubahan paradigma pemerintahan, geo politik, dan ekonomi- sosio- kultural, mengharuskan pegawai untuk adaftif terhadap lingkungan dan kebutuhan kekinian pelayanan.
Namun sepanjang sejarah, tidaklah mudah untuk melakukan pembinaan terhadap PNS. Pada pascakemerdekaan misalnya, pemerintah dihadapkan dengan pilihan sulit untuk memprioritaskan pembinaan PNS yang terpolarisasi dalam dua kutub berbeda yaitu pertama kelompok PNS kooperator, yaitu yang sebelumnya ikut Belanda. Kedua, PNS non-kooperator yaitu yang menolak bekerja kepada Belanda, baik mereka yang berhenti dan tidak ikut bergerilya, maupun yang memilih untuk turut dengan TNI melakukan gerilya.
Dilema yang terjadi adalah meletakkan prioritas pembinaan, yaitu antara mendahulukan kepentingan politis dengan mendahulukan PNS non-kooperator dan kebutuhan strategis, dengan mendahulukan PNS kooperator, untuk pertimbangan aspek profesional (lihat A.Subianto,2003).
Upaya-upaya penegakan profesionalisme PNS terus mengalami pasang surut. Pada era liberal dimana pemerintahan silih berganti, bahkan dengan sistem multipartai, setiap partai berusaha untuk menarik PNS sebagai anggotanya, lebih-lebih bagi yang menduduki jabatan strategis. Kesempatan itu dimanfaatkan pula oleh sebagian mereka, sebagai peluang untuk mendongkrak kariernya. Keadaan inilah yang menyebabkan pola pembinaannya tidak jelas .
Penempatan dan pengembangan PNS tidak mengacu pada kecakapan, melainkan didasarkan pada keanggotaan partai. Loyalitas lebih ditujukan pada partai politik yang menjadi patronnya. Pelayanan menjadi kurang baik, diskriminatif dan rahasia negara dapat bocor untuk kepentingan politis masing- masing.
Baca juga: Pohon Trembesi Tumbang di Jalan Belitung Kota Banjarmasin Menimpa Truk Tangki
Melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, Orde Baru berupaya memperbaiki pembinaan PNS secara lebih sistematis. Tapi dalam perjalanannya, skenario kebijakan Orde Baru mengalami distorsif, yang ditandai terjadinya depolitisasi kehidupan pegawai ke dalam iklim monolitik. Pengalaman inilah yang kemudian melahirkan gagasan dan membawa PNS pada prinsip netralitas dan sistem merit sebagaimana salah satu pesan formal dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 hingga UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 , sampai dengan perbaikan UU ASN terbaru.
Profesional
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.