Pemilu 2024

Komentar Warga Banjarmasin soal Fatwa Haram Golput pada Pemilu 2024 dari MUI

Majelis Ulama Indonesia (MU) kembali mengingatkan fatwa haram untuk golput (golongan putih atau tidak memilih) pada Pemilu 2024 ini

|
Penulis: Rifki Soelaiman | Editor: Rahmadhani
TRIBUN MEDAN/RISKI CAHYADI
Ilustrasi - Simpatisan menggunakan kostum pocong melakukan aksi tolak golput di kawasan Jalan Multatuli, Medan, Senin (7/4/2014). Dalam aksinya mereka mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum pada 9 April mendatang. 

BANJARMASINPOST.CO.ID - Majelis Ulama Indonesia (MU) telah mengeluarkan fatwa haram untuk golput (golongan putih atau tidak memilih) pada Pemilu 2009 lalu. Di tahun politik kali ini, MUI kembali mengingatkan hal tersebut kepada masyarakat.

Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis menyampaikan, masyarakat yang golput pada pemilu hukumnya haram. Ijtima Ulama II se-Indonesia 2009 menegaskan memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah (kepemimpinan) dan imarah (pemerintahan) dalam kehidupan bersama.

Masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih disebut tidak bertanggung jawab terhadap jalannya bangsa ini. Oleh karena itu, dia mengajak masyarakat agar tidak golput. Masyarakat diminta memilih satu dari tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang maju pada Pilpres 2024.

Lalu, bagaimana pandangan warga Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, terkait dengan fatwa MUI ini?

Menurut Sairi, warga Kecamatan Banjarmasin Tengah, fatwa MUI itu sah-sah saja. Bisa jadi dengan adanya fatwa tersebut, bantu mengurangi angka golput secara signifikan. “Masyarakat harusnya kan menggunakan hak pilih untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik,” kata pemuda 23 tahun itu kepada Serambi UmmaH, Kamis (21/12).

Sairi mengaku sudah punya pilihan pada pencoblosan, Rabu, 14 Februari 2024 mendatang. Calon tersebut dia pilih lantaran kinerja yang bersangkutan sebelumnya. Dan sebagai kaum muslim, Sairi menyarankan agar umat Islam lainnya menggunakan hak pilih masing-masing. “Setidaknya dengan suara yang diberikan, bisa membawa perubahan untuk Indonesia,” ucapnya.

Baca juga: MUI Kalsel: Golput Bisa Berakibat Mudarat

Baca juga: Muslim Paripurna

Baca juga: Wawancara dengan Ustadz Fahmi Ansyari: Izin Guru untuk Dapatkan Rida

Bila tak ada yang sesuai di hati, imbuh Sairi, bisa melihat latar belakang para calon dan menimbang-nimbangnya kembali.

“Lagian kan ada sesi debat juga. Setidaknya kita bisa mengetahui mana yang memang berkualitas dan mana yang tidak,” tuturnya.

Berbeda dengan Tiwi, warga Banjarmasin Timur. Menurutnya, tak ada landasan agama untuk mengharamkan orang yang tak mau berpartisipasi dalam berpolitik. “Karena menurutku memilih dan tidak memilih itu adalah hak. Ketika seseorang tidak ingin memilih, itu pun adalah sebuah pilihan,” paparnya.

Sejauh ini, Tiwi mengaku masih mempertimbangkan siapa calon yang nantinya hendak dia pilih. Perempuan 25 tahun itu akan melihat lagi kejelasan visi-misi dari para calon di pemilu nanti.

Dia tak menampik akan golput seandainya tak ada calon yang masuk akal memberikan visi-misinya. Namun demikian, Tiwi tetap menelaah lagi bagaimana program yang diusung serta latar belakang dari para calon.

Sebisa mungkin, kata dia, kaum muslim di tahun politik ini harus netral. “Ikuti saja pilihan hati masing-masing. Jangan memaksakan kehendak, apalagi sampai berkelahi,” imbaunya. 

* Pemimpin Muslim Punya Sisi Baik

DI sisi lain, Anggota Komisi Fatwa MUI Kalsel, Asfiani mengutip hikayat sahabat nabi, yakni ada seorang gubernur yang hafizh Al-Qur’an. Akan tetapi, dia punya sisi jelek. Dia terkenal keji. Dia adalah Al-Hajjaj bin Yusuf.

Kebengisannya dimulai saat dia diangkat memimpin pasukan perang dari Abdul Malik bin Marwan untuk melawan Abdullah bin Zubair. Setelah itu, Al-Hajjaj bin Yusuf diangkat menjadi Gubernur Irak.

Asfiani menuturkan, meski Al-Hajjaj kejam seperti itu, ada sisi baiknya seperti yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir. “Ibnu Katsir berkata, diriwayatkan kepada kami dari beliau bahwa beliau meninggalkan hal-hal yang memabukkan, banyak membaca Al-Qur’an, menjauhi larangan-larangan, dan tidak dikenali sebagai orang yang pernah terjerumus perzinaan (perselingkuhan), walaupun dia terlalu berani dalam hal menumpahkan darah,” ujar Asfiani menilik kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah.

Di antara jasa-jasa Hajjaj yang paling besar lagi adalah keseriusannya dalam memberi titik dan harakat pada huruf-huruf Al-Qur’an.

Inilah yang menunjukkan bahwa seorang pemimpin muslim, sejelek-jeleknya dia, tetap masih ada sisi baik. Jadi jangan menganggap bahwa pemimpin muslim mutlak jeleknya, seperti penilaian yang saat ini terjadi.

Asfiani pun mengutip hadis riwayat Muslim yang tertulis, dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu,”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka.

Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.

“Kemudian ada yang berkata, wahai Rasulullah, tidakkah kita menantang mereka dengan pedang? Rasulullah SAW bersabda, tidak, selama mereka masih mendirikan salat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya,” kutip Asfiani. (Banjarmasinpost.co.id/Sulaiman)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved