Opini
Ironisme Bullying di Sekolah
MAKIN hari kasus kekerasan, khususnya perundungan atau biasa kita dengar dengan istilah bullying makin menjadi-jadi.
Oleh : Rahmita Yuliana Gazali, M.Pd
Dosen Universitas PGRI Kalimantan
MAKIN hari kasus kekerasan, khususnya perundungan atau biasa kita dengar dengan istilah bullying makin menjadi-jadi.
Terbaru, viral video aksi bullying sadis yang dilakukan sejumlah siswa SD berseragam olahraga di Kabupaten Indramayu, dengan sengaja mendorong, memojokkan, menendang, hingga menelanjangi korban.
Selain itu, juga sedang viral siswa SMP di Balikpapan jadi korban kekerasan sekelompok siswa, dengan memukul, menendang bertubi-tubi korban secara bergantian saat jam istirahat.
Kejadian-kejadian tersebut tentu kembali mencoreng wajah pendidikan kita.
Baca juga: Pengawasan Jangan Tebang Pilih
Baca juga: UPT Parkir Dushub Banjarmasin Petakan Lokasi Parkir Pasar Wadai Ramadan 2024, Ini Lokasinya
Apalagi pelakunya masih berseragam sekolah, dimana idealnya ketika masih mengenakan seragam, berarti ikut pula menyeret nama sekolah dalam pusaran keviralan yang negatif (aib sekolah).
Masih maraknya kasus bullying khususnya antarpelajar yang terjadi di sekolah, memberikan alarm akan pentingnya pengawasan dan kontrol yang lebih disiplin di sekolah.
Terutama guru sebagai contoh terbaik untuk murid-muridnya.
Guru Ramah Anak
Melihat kronologis kejadian bullying yang kerap terjadi pada saat “lengah” baik saat jam istirahat atau jam pulang sekolah, tentu patut dicermati.
Khususnya bagi para guru yang memegang kepercayaan penuh dari orang tua untuk memastikan anak nyaman dan aman selama berada di lingkungan sekolah. Pertama, guru yang ramah dan mengayomi.
Guru adalah simbol yang diteladani para muridnya. Ibarat pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Contoh dan keteladanan dari seorang guru wajib hukumnya dilakukan selama berada di lingkungan sekolah.
Mulai dari bersikap, jangan sampai justru menjadi aktor yang menjadi contoh dengan perangai yang kasar, pemarah, dan mengintimidasi.
Itu bisa menjadi klaim murid ketika juga bersikap keras dan suka mengancam bahkan bertindak keras seperti bullying kepada sesama teman, yang terlihat lemah dan mudah ditekan.
Selanjutnya, hal yang tak kalah penting adalah perihal guru yang “memuliakan” anak didiknya. Kata memuliakan biasanya merepresentasikan sikap hormat dari seseorang terhadap orang lain yang lebih tua.
Dalam konteks pendidikan, misalnya, sikap hormat dari anak didiknya terhadap gurunya. Namun, kata memuliakan di sini, bermakna, representasi sikap seorang guru dalam mengajar dan mendidik, hingga menjadikan si anak didik menjadi orang yang mulia di masyarakat.
\Salah satu cara yang bisa ditempuh guru untuk mewujudkan hubungan timbal balik dengan anak didiknya tersebut adalah dengan mencermati kode etik guru.
Dalam pembukaan kode etik guru Indonesia, disebutkan bahwa guru Indonesia adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik, yang dalam melaksankan tugas berpegang teguh pada prinsip “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip tersebut guru Indonesia ketika menjalankan tugas-tugas profesionalnya dituntut memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Guru Indonesia bertanggung jawab mengantarkan siswanya untuk mencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin bangsa pada semua bidang kehidupan.
Pada konteks mendidik dan mengajar anak di sekolah, guru seyogyanya memerankan bak orang tua terhadap anaknya di rumah.
Mendidik dengan ketulusan, rasa kasih sayang, rasa cinta, dan kesabaran. Itu penting, karena dengan ketulusan dan kasih sayang, maka rasa itu akan sampai pada anak didiknya, yang menurut dan mencontoh kebaikan yang sudah diteladankan guru.
Bukan malah sebaliknya, berperangai bak preman kepada sesama teman dengan perilaku tidak terpuji seperti bullying.
Ketika terjadi peristiwa, guru mencubit atau guru menegur anak didiknya, itu semata-mata cubitan atau teguran kasih sayang.
Tetapi, perlu dijelaskan ke anak didiknya, jangan asal cubit atau menjewer. Karena, anak sekarang cenderung menduplikasi apa yang dilakukan guru.
Guru mencubit, menjewer, maka bisa jadi muncul keinginan, hasrat anak untuk mencubit atau menjewer temannya, dan bisa masuk kategori kekerasan sesama teman.
Memang, ada satu atau dua orang oknum guru, yang berlebihan dalam memberikan peringatan kepada anak didiknya. Tetapi, jangan lantas digeneralisasikan, untuk menjudgmet bahwa image sikap berlebihan dalam mengingatkan anak didiknya, masih ada dalam diri seorang guru. Jika ada kasus seperti guru yang mencubit, guru menegur anak didiknya, kemudian diperkarakan oleh orang tua, seharusnya tidak perlu menjadi viral, manakala baik guru, orang tua dan anak didiknya, duduk bersama.
Sinergi Kuncinya
Harapannya jelas, kita ingin mewujudkan pendidikan ramah anak sebagai bentuk menjalankan amanat undang-undang.
Step pertama dan utama adalah dengan memberikan keteladanan sikap yang baik, kebiasaan baik dari para guru.
Guru jangan sampai menjadi role model yang keliru, dengan membiasakan kekerasan dalam menghukum atau memarahi anak didik.
Karena, itu bisa menjadi obsesi anak didik untuk melakukan hal yang sama kepada temannya dalam bentuk bullying.
Kedua, perlu pengawasan lebih jeli lagi dengan menangkap sinyal-sinyal adanya benih-benih potensi tindak bullying, dengan memberikan bimbingan dan konseling kepada anak-anak yang memiliki perangai aneh karena takut berbicara akibat sudah diintimidasi sesama teman.
Ketiga, guru mesti menganggap murid-muridnya, layaknya anak sendiri di rumah. Mendidik dengan tulus ikhlas, rasa kasih sayang, sikap adil, no ultimatum.
Mendidik dengan hati, tidak membeda-bedakan antara anak yang pintar, dengan anak yang kurang, anak normal dengan anak berkebutuhan khusus.
Harapannya anak bisa mencontoh memperlakukan teman seperti guru memperlakukan semua anak didiknya secara adil. Kita hanya bisa berikhtiar, sejauh mana bisa memutus rantai setan bullying dengan kebiasaan dan keteladanan.
Perlu sinergi dengan orang tua agar juga memantau kebiasaan anak ketika di rumah, karena tindak bullying juga bisa dipengaruhi karena kebiasaan main game yang kini makin banyak game kekerasan, maupun tontonan yang tidak sesuai dengan perkembangan kognitif anak didik. Adanya Satgas Pencegahan Tindak Kekerasan di sekolah juga perlu dibentuk sebagai upaya preventif. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Semoga. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.