Kolom

Mitos Desa Harmonis

Joko Widodo resmi mengesahkan revisi UU Desa melalui keluarnya UU 3/2024 sebagai perubahan kedua atas UU 6/2014 tentang Desa

Editor: Irfani Rahman
Foto ist
Anggalih Bayu Muh Kamim, Magister Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University 

Oleh: Anggalih Bayu Muh Kamim
Magister Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University

BANJARMASINPOST.CO.ID - PRESIDEN Joko Widodo resmi mengesahkan revisi UU Desa melalui keluarnya UU 3/2024 sebagai perubahan kedua atas UU 6/2014 tentang Desa yang terkesan memperkuat posisi elit desa. Kepala desa menurut UU 3/2024 dapat menjabat selama 16 tahun dengan masa jabatan maksimal dua periode.

Kepala desa menerima manfaat lainnya melalui pemberian pensiun, tunjangan istri/suami, tunjangan anak, tunjangan kinerja, dan tunjangan hasil pemanfaatan lahan milik desa di luar penghasilan bulanan dan jaminan kesehatan.

Kita patut menduga penguatan posisi elit desa dengan perubahan regulasi tersebut semakin membatasi ruang bagi kelompok marjinal untuk mengontrol kekuasaan. Desa tak bisa romantisasi berada dalam “situasi tenang” seolah tak ada peminggiran kelompok marjinal.

Rakyat desa diromantisasi berkedudukan sebagai peasant, dianggap berproduksi untuk memenuhi kebutuhan hidup dasarnya. Pascatanam paksa, warga sudah berkedudukan sebagai farmer. Mereka berproduksi untuk mengubah nilai guna dari alam menjadi nilai tukar untuk mengejar akumulasi dan produksi telah melekat pada motif pasar (Bernstein, 2010).

Kondisi seperti ini tentu telah membuat warga terbagi dalam kelas-kelas yang berbeda kepentingannya, sehingga penggunaan unit sosial terkecil dalam pembangunan desa belum tentu memberi ruang pada kelas yang terpinggirkan.

Pandangan menganggap “warga homogen dan rukun” adalah konsekuensi dari apa yang disebut oleh Brass (1997) sebagai “mitos agraria” atau oleh White (2017a) sebagai “mitos desa harmonis.” Kelas yang tersisih juga melakukan perlawanan terselubung seperti dengan menggunjing, memilah dalam bekerja pada juragan tertentu, dan lain-lain (Scott, 1976; Scott, 2000).

Penguasa yang Selalu Berkuasa

Kelas apalagi melekat pada aspek sosial lainnya seperti agama dan etnis. Studi SMERU Institute (2018) berdasarkan kondisi pedesaan di Indonesia pada tahun 2006-2016 menunjukkan bahwa masyarakat desa lebih memilih membangun representasi dengan basis kesamaan agama dan etnis.

Konflik identitas di masyarakat pedesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan disebabkan semakin beragam identitas agama dan etnis ternyata semakin timpang pula pendapatan masyarakat di desa (Warda et al., 2018).

White (2017b) sejak lama telah mengingatkan kita bahwa UU Desa sebelumnya yakni UU 6/2014 dibentuk dengan kerangka ingin memastikan masyarakat “patuh dan tunduk” pada penguasa tanpa mengeluhkan kondisi penghidupan mereka.

Diferensiasi dari aspek kekayaan, gender, generasi, dan kesenjangan relasi kuasa tak dibaca sejak lama bahkan dalam UU Desa sebelumnya yang diklaim memiliki “semangat demokrasi.” White (2017b) sudah menduga bahwa UU 6/2014 tak menyediakan mekanisme kontrol yang kuat dari kelompok marjinal, apalagi dengan perubahan regulasi tersebut yang memberikan akses kesejahteraan lebih kepada elit desa jelas siapa yang diperkuat posisinya.

Lemahnya Kontrol Kepada Elit Desa

Pelaksanaan UU Desa 6/2014 sendiri sebelumnya dibayangi oleh intervensi elit nasional yang berasal dari parpol yang berbeda, di mana elit yang memiliki kendali atas kementerian-kementerian yang berbeda dan memposisikan desa dalam aturan administrasi yang berlainan (Antlöv, 2019).

Pemerintah desa dan warga juga memiliki sedikit informasi sebagai konsekuensi dari tumpangtindih kelembagaan, sehingga mereka takut menggunakan uang karena takut dituduh korupsi.

Organisasi masyarakat sipil (OMS) yang mendorong UU Desa juga kelimpungan disebabkan lembaga donor yang menyokong mereka lebih ingin fokus pada penguatan kapasitas dalam pelaksanaan UU Desa, sedangkan OMS ingin memiliki fokus lainnya (Vel, Zakaria, Bedner, 2017).

Kajian Habibi (2021) sendiri menunjukkan bahwa rembug desa yang dibayangkan akan memberi ruang partisipasi bagi rakyat kecil, kenyataannya tak terbukti sebab buruh tani di desa “justru diadu domba oleh majikannya.” Sidik dan Habibi (2023) dalam kasus desa yang mendapatkan status “Badan Usaha Milik Desa terbaik” saat studi dilakukan menunjukkan bahwa mereka yang menjabat pengurus maupun pekerja bada BUMDes justru diisi oleh mereka yang terlibat dalam pemenangan kepala desa dalam pilkades.

Kondisi tanpa kontrol publik dari warga desa sebelum ada revisi regulasi sudah menunjukkan bahwa UU Desa baru yang didorong oleh elit-elit desa bersamaan dengan kondisi pra dan pasca pemilu 2024 patut dicurigai sebagai bentuk konsolidasi elit pada semua level.

Elit desa melalui organisasi mereka bahkan sempat memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kemudian menjadi pasangan presiden dan wakil presiden terpilih pada Pemilu 2024.

Film Dirty Vote yang dibuat oleh kalangan pegiat sosial maupun scholar activist dan berbagai pemberitaan media massa juga telah menyorot adanya dugaan pengerahan elit-elit desa dalam mendukung pasangan kandidat yang diduga ditopang oleh “penguasa nasional.”

Tiga hakim Mahkamah Konstitusi pada proses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Pilpres 2024 bahkan memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion), di antaranya menyoroti persoalan pengerahan dukungan elit desa dalam Pemilu 2024. Pengerahan terjadi juga bersamaan dengan dorongan revisi UU Desa yang baru dan kenyataannya memberikan berbagai insentif kesejahteraan bagi elit desa dan meromantisasi kondisi pedesaan yang dibiarkan tanpa ada kontrol publik.

Pendekatan pembayangan desa tak boleh memiliki kontrol publik yang memadai misalnya kentara pada Pasal 4 huruf (g) UU 3/2024 tentang Desa yang membayangkan bahwa kehidupan sosial di masyarakat desa dibayangkan menjadi bagian dari “ketahanan nasional” dan “kesatuan nasional.”

Hal tersebut adalah pembayangan warisan depolitisasi sejak masa Orde Baru yang memandang rakyat desa yang berani bersuara atas masalah publik yang dihadapinya dan mereka menyampaikannya secara terorganisir justru dianggap sebagai “ancaman perpecahan” (White, Graham, dan Savitri, 2023). Pasal 78 ayat 33 UU Desa tersebut bahkan menyampaikan bahwa pembangunan desa mengedepankan “kekeluargaan juga perdamaian,” poin tersebut menegaskan bahwa warga desa yang terorganisir terlibat dalam kebijakan justru dianggap sebagai ancaman.

Narasi “kekeluargaan” juga anggapan depolitisasi yang mendudukkan elit desa sebagai Bapak yang harus dipatuhi, sedangkan warga desa ditempatkan selayaknya Anak yang harus mengikuti Bapaknya (Bourchier, 2015). Pasal 27 UU Desa yang baru juga hanya mengatur bahwa kepala desa harus menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintah desa secara tertulis, tetapi di sisi lain membayangkan elit desa sebagai “pengayom.”  

Kita bisa melihat bahwa di sini penyampaian informasi pada dasarnya hanya dipandang sebagai formalitas administrasi semata, sedangkan warga desa tetap dibayangkan harus berada pada kendali elit desa atas nama “pengayoman.” Kita bisa melihat bahwa pada akhirnya rakyat kecil tak pernah diberi ruang oleh elit-elit ataupun para penguasa yang dalam berbagai arena kekuasaan selalu terhubung satu sama lainnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Jangan Jadi Pepesan Kosong

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved