BFocus Urban Life

DPRD Kalsel Minta Pemerintah Tunda Penerapan Kenaikan Pajak Kendaraan

Ketua Komisi II DPRD Kalsel, Muhammad Yani Helmi, menilai bahwa kenaikan pajak kendaraan tersebut akan sangat membebani masyarakat

Istimewa/tribunnews.com
ILustrasi pajak. 


BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Rencana pemerintah pusat untuk menerapkan kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) sebesar 66 persen yang akan berlaku pada 5 Januari 2025, mendapat penolakan keras dari masyarakat Banua.

Penolakan ini terungkap dalam audiensi yang digelar Komisi II DPRD Provinsi Kalimantan Selatan bersama Forum Kota (Forkot) Banjarmasin dan sejumlah perwakilan LSM lainnya pada Selasa (17/12/2024), di Ruang Rapat HM Ismail Abdullah, Gedung B Lantai 4 Kantor DPRD Kalsel.

Ketua Komisi II DPRD Kalsel, Muhammad Yani Helmi, menilai bahwa kenaikan pajak kendaraan tersebut akan sangat membebani masyarakat, mengingat kondisi ekonomi yang masih sulit.

Ia meminta pemerintah menunda sembari mengevaluasi lagi penerapan kebijakan tersebut.

“Kenaikan ini sangat tinggi sekali. Kami sudah memperkirakan dampaknya dan kami meminta agar pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan ini,” ungkap Yani, yang juga merupakan politisi dari Partai Golongan Karya.

Komisi II DPRD Kalsel berencana menggelar rapat lebih lanjut dengan melibatkan Komisi I, III, dan IV untuk membahas masalah ini.

Yani menambahkan, rapat lintas komisi ini akan memperkuat upaya penolakan terhadap kebijakan tersebut, bahkan ada usulan untuk mengajukan hak interpelasi, meski ia berharap hal itu tidak terjadi.

Sementara itu, Ketua Forkot Banjarmasin, Syarifuddin "Kai" Nisfuady, menegaskan penolakan terhadap kenaikan PKB dan BBNKB sebesar 66 persen.

Ia juga mengkritisi lemahnya sosialisasi yang dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah terkait kebijakan ini.

Nisfuady meminta pemerintah untuk tidak memaksakan kenaikan di atas 30 persen, dengan alasan bahwa hal tersebut hanya akan menambah kesulitan hidup masyarakat.

“Kami menyarankan agar pemerintah meninjau kembali angka yang realistis untuk kenaikan ini. Jika tetap dipaksakan, bisa dipastikan kondisi masyarakat akan semakin sulit dan wibawa pemerintah akan tergerus,” tegas Nisfuady, yang juga menyatakan rencana untuk mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 1 Tahun 2022 ke Mahkamah Konstitusi. (msr)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved