Mutiara Ramadan
Syiar Ramadan Selaraskan Syariah dan Hakikat
Dalam kitab-kitab tasawuf sering kita temukan istilah: Man tashawwaf wa lam yatafaqqaha faqad tafassaq, wa man tafaqqaha wa lam yatashawwafa faqad
Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA
Menteri Agama
Dalam kitab-kitab tasawuf sering kita temukan istilah: Man tashawwaf wa lam yatafaqqaha faqad tafassaq, wa man tafaqqaha wa lam yatashawwafa faqad tazandaq, wa man jama’a baina huma faqad tahaqqaqah (Barangsiapa yang bertasawuf (hakikat) tanpa berfikih (syariah) maka ia fasik. Barangsiapa yang berfikih tanpa bertasawuf maka ia zindiq, dan barangsiapa yang menggabungkan keduanya maka ia mencapai puncak kebenaran).
Pernyataan ini mengisyaratkan betapa pentingnya penyerasian antara syariah dan hakikat. Menurut Al-Qusyairi, syariah merupakan perintah yang harus dilaksanakan dalam bentuk ibadah, dan hakikat merupakan kesaksian akan kehadiran peran serta ketuhanan dalam setiap kehidupan. Syariah lebih merupakan konsep merambah jalan Tuhan, sedangkan hakikat keabadian di dalam melihat-Nya. Kita masih mengenal satu istilah lain, yaitu tarekat, yang merupakan perjalanan hamba di dalam meniti jalan syariah.
Dengan alasan apapun, tidak ada jalan lain para ahli hakikat untuk meninggalkan syariah. Namun idealnya pengamalan syariah disemangati oleh hakikat. Wadah untuk menyinergikan antara syariah dan hakikat ialah tarekat. Orang yang menuntun jemaah untuk melakukan sinergi syariah dan hakikat biasanya disebut mursyid. Sedangkan mursyid adalah representasi atau perpanjangan syekh, yang merupakan pendiri dan penganjur suatu tarekat.
Kehadiran syariah yang tidak diikat dengan hakikat tidak dapat diterima. Sebaliknya kehadiran hakikat tidak dilandasi syariah tidak akan berhasil. Bahkan kemungkinannya bisa mengakibatkan penyesatan. Siapapun yang hendak memasuki dunia hakikat lebih jauh sebaiknya memilki mursyid yang akan membimbing mereka. Syariah berisi beban hukum dari Allah Swt kepada para hamba, sedangkan hakikat lebih merupakan dominasi kreatif Al-Haq dan merupakan kesaksian terhadap sesuatu yang telah ditentukan pada diri hamba. Al-Qusyairi mencontohkan: Iyyaka na’budu adalah manifestasi syariah, sedangkan iyyaka nasta’in adalah manifestasi hakikat.
Baca juga: WFA dan Kinerja
Baca juga: Bazar Murah TNI, Lanal Kotabaru Sediakan 600 Paket Sembako Terjangkau
Sesungguhnya seseorang tidak mesti harus bertarekat. Tidak mesti juga seseorang memiliki syekh atau mursyid dalam arti pemimpin tarekat. Seseorang bisa mendapatkan bimbingan dari ulama atau ustadz yang mendasarkan ajarannya pada Al-Qr’n dan hadis. Hanya bimbingan mereka sering dianggap bersifat generik dan uumum. Bimbingan khusus secara intensif banyak dirasakan orang melalui tarekat, yang di dalamnya ada tatakrama tertentu yang mesti diamalkan.
Namun kita juga harus hati-hati karena banyak aliran tertentu yang cenderung dipertanyakan keabsahan dan kemuktabarahannya menggunakan istilah tarekat. Jika ingin bertarekat, kita dianjurkan untuk memilih tarekat yang betul-betul ajarannya dari Al-Qur’an dan hadis. Tarekat seperti ini biasa disebut dengan tarekat mu’tabarah, suatu tarekat yang tidak diragukan ajarannya. Tarekat yang tidak populer (gair mu’tabarah) belum tentu salah atau sesat. Namun kita harus hati-hati. Kita harus melihat secara kritis dan memastikan substansi ajarannya tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadis. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.