Itu lah sejarah bulan Safar yang oleh sebagian orang Indonesia diyakini sebagai bulan yang membawa sial sehingga ketika bepergian harus berhati-hati.
Artinya, tidak nyambung sebenarnya antara tolak bala dengan bulan Safar.
Saat masa Islam masuk, namanya tetap dipertahankan, karena memiliki keterkaitan dengan bulan sebelumnya yakni Muharram.
Seperti diketahui, bulan Muharram adalah momentum hijrah meninggalkan segala sesuatu keburukan, maka yang haram sudah tidak ada tempat dalam diri.
"Anda tinggalkan dusta, yang buruk di mata, buruk di lisan, buruk di tangan dan kaki, kalau sudah tidak ada tempat untuk yang haram maka akan memunculkan hal-hal yang menyenangkan dan baik-baik dalam hidup," tutur Ustadz Adi Hidayat.
"Safar dari kata sifr artinya kosong, kalo orang-orang sudah meninggalkan yang haram-haram dalam dirinya, maka yang haram itu sudah tidak ada tempat lagi dalam diri kita," jelasnya.
Kemudian, Ustadz Adi menjelaskan jika sudah tidak ada lagi tempat yang haram maka muncullah rabi' yang berarti bunga.
"Kalau sudah tidak ada tempat untuk yang haram-haram maka muncullah rabi'. Rabi' itu asalnya bunga mulai tumbuh yang dengan tumbuhnya itu suasana yang indah pemandangan," urai UAH.
Jika orang sudah bisa meninggalkan yang haram, mengosongkan yang haram dalam diri, maka akan muncul yang baik-baik dan yang menyenangkan dalam hidup.
Ustadz Abdul Somad Bicara
Ustad Abdul Somad (UAS) pernah membahas tentang tradisi umat Islam Indonesia pada Rabu Wekasan atau yang juga dikenal dengan Arba Mustakmir ini.
Arba Mustakmir adalah tradisi yang biasa dilakukan di Kalimantan Selatan.
Dilansir dari YouTube Nasehat Islam pada 2 Juni 2018, UAS membahas apakah dibolehkan atau tidak dalam Islam dan bagaimana hukumnya?
"Ziarah kubur di hari Rabu terakhir bulan Safar, boleh tidak? Ziarah kuburnya boleh, bagus saja itu."
Lalu bagimana dengan doa tolak bala?