Martabat dan Ironi Dokter
PADA 27 November 2013 kemarin, para dokter melakukan aksi mogok nasional sebagai ungkapan solidaritas
Oleh: Mujiburrahman
PADA 27 November 2013 kemarin, para dokter melakukan aksi mogok nasional sebagai ungkapan solidaritas terhadap nasib tiga rekan mereka (Ayu Sasiary Prawani, Hendy Siagian dan Hendry Simanjuntak) yang dijatuhi hukuman 10 bulan penjara atas dakwaan malapraktik.
Seperti dikutip BPost (28-11-2013), kasus ini membuat Ayu menyesal jadi dokter. Pernyataan Ayu itu cukup mengejutkan, karena menjadi dokter tampaknya masih menjadi impian banyak anak muda (dan orangtua mereka) hingga sekarang.
Terbukti, calon mahasiswa fakultas kedokteran di mana-mana membeludak. Meskipun semua tahu, biaya kuliah kedokteran tergolong mahal, bahkan sangat mahal.
Jelas, profesi dokter memiliki gengsi tersendiri. Dalam masyarakat primitif, seorang dukun, shaman atau balian, yang pandai menyembuhkan orang sakit, adalah juga tokoh masyarakat.
Di era kerajaan, dikenal pula adanya dokter istana, yang tentu saja dekat dengan keluarga raja. Dua ulama dan filosof Muslim terkemuka di abad pertengahan, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, juga tercatat sebagai dokter istana.
Di negara ini, pendidikan dokter yang disebut ‘dokter Jawa’, dimulai di Batavia pada 1852, kemudian dikembangkan menjadi sekolah dokter pribumi, STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), pada 1872 dengan masa studi enam tahun.
Pada 1913, karena meningkatnya kebutuhan, didirikan pula sekolah kedokteran di Surabaya, disebut NIAS (Nederland Indische Artsen School).
Dapat dimaklumi jika STOVIA sangat bergengsi karena ia adalah pendidikan tinggi modern pertama di era kolonial Belanda. Apalagi kelak banyak alumninya yang menjadi tokoh nasional. Mungkin inilah akar sejarah mengapa profesi dokter menjadi impian banyak orang hingga sekarang. Impian itu tampaknya makin tinggi di kalangan kelas menengah baru, yang status sosialnya tengah merangkak naik.
Tetapi sekarang, gengsi dokter harus berhadapan dengan banyak tantangan. Pribakti B, dokter RSUD Ulin, seringkali menulis di koran ini mengenai berbagai masalah yang dihadapi dokter.
Dua di antara sejumlah tulisannya, adalah “Mayoritas Dokter di Bawah Sejahtera” (BPost 3-7-2013), dan “Memudarnya Keluhuran Profesi Dokter” (BPost 25-11-2013), patut menjadi perhatian kita.
Menurut Pribakti, 70 persen dokter umum di Indonesia hidupnya masih tidak sejahtera. Gaji dokter PNS Golongan IIIB hanya Rp 2,6 juta. Padahal, ketika kuliah, ia bukan hanya harus mengeluarkan biaya yang tinggi, tapi juga harus tekun belajar dan sabar menghadapi berbagai tekanan. Ketika sudah resmi bekerja, jam kerjanya nyaris tak mengenal batas, sementara resiko ketularan penyakit selalu mengancam.
Bagaimana dengan membuka praktik di rumah atau klinik? Karena dokter spesialis makin banyak, dokter umum sulit bersaing. Pilihan lain, ia bisa menjadi dokter keluarga perusahaan asuransi, namun upahnya sangat kecil.
Padahal, untuk memertahankan izin praktik, ia perlu kredit poin dengan mengikuti berbagai kegiatan ilmiah, yang tentu sajabutuh biaya. Apalagi jika ingin S2 (spesialis), biayanya tentu lebih tinggi.
Tak tahan dengan semua ini, dokter akhirnya bersekongkol dengan pihak-pihak tertentu, guna menguras kantong pasien melalui penjualan obat dan berbagai pemeriksaan, meski tanpa indikasi medis yang jelas.