Negarawan

KATA ini sangat sakral, sarat dengan kewibawaan, keluhuran, kejujuran bahkan kesucian. Negarawan mungkin sudah mendekati begawan yang senantiasa

Editor: M Fadli Setia Rahman
zoom-inlihat foto Negarawan
dokbpost
H Pramono BS

KATA ini sangat sakral, sarat dengan kewibawaan, keluhuran, kejujuran bahkan kesucian.

Negarawan mungkin sudah mendekati begawan yang senantiasa memberikan contoh dan keteladanan.    

Negarawan itu orang yang sudah ‘selesai’ hidupnya, artinya tidak ada lagi yang ingin dicapai, baik jabatan, kekuasaan atau kekayaan, apalagi istri muda. Pokoknya hidupnya hanya untuk memberikan keteladanan pada orang banyak. Mereka sering digambarkan sebagai seorang resi, mahaguru tentang keutamaan.

Orang macam itulah yang sekarang dicari oleh DPR untuk menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewakili DPR.

Beruntung banyak orang mengingatkan agar DPR mencari negarawan, kalau tidak yang diusung bisa kolega-koleganya juga, semacam mantan Ketua MK Akil Mochtar.     

Tuntutan terhadap hadirnya negarawan muncul setelah Akil ditangkap KPK. Kedudukan Ketua MK sangat tinggi, boleh dibilang hakim tertinggi di negara ini. Hakim MK menentukan jatuh bangunnya negara karena dia penjaga UUD (Undang Undang Dasar). Tak pernah terbayangkan bahwa lembaga itu diisi oleh orang yang lemah iman, hanya melalui tes sekadarnya.

Hakim MK itu mewakili 3 lembaga, pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung (MA). Biasanya yang dari DPR adalah mantan anggota yang sudah ‘lelah’ atau tak bakalan dapat kursi lagi. Ketua MK yang sekarang, Hamdan Zoelva, juga orang parpol, yakni PBB (Partai Bulang Bintang).

Hakim dari pemerintah kadang ditunjuk tanpa pertimbangan matang seperti Patrialis Akbar, yang juga orang parpol (PAN-Partai Amanat Nasional), yang kedudukannya sebagai hakim MK dibatalkan oleh PTUN (pengadilan tata usaha negara) dan kini kasasi. Yang berlatar belakang hakim karier hanya ‘kiriman’ dari MA.

Kita bisa melihat para negarawan mengemudikan MK. UU Nomor 4 tahun 2014 tentang MK yang di dalamnya juga mengatur tentang pengawasan dibatalkan sendiri oleh MK. Alasannya MK punya wewenang membatalkan sesuai Pasal 24 C (3) UUD 1945. Padahal masyarakat menghendaki sebaliknya.

Seharusnya MK tidak mengadili perkara yang berkenaan dengan dirinya sendiri karena ini melanggar asas hukum universal nemo judex in causa sua. Tapi apa mau dikata, bukan baru sekarang saja, sebelum ini pun MK telah membatalkan UU yang mengurangi kewenangannya.

Uji materi UU Nomor 4 tahun 2014 diajukan oleh seorang pengacara yang biasa beracara di MK serta oleh Fakultas Hukum Universitas Jember yang akrab dengan MK. Refli Harun, seorang ahli hukum tata negara mempertanyakan kedudukan hukum (legal standing) mereka sehingga bisa mengajukan uji materi. Mereka tidak punya tautan dengan UU itu dan ada atau tidak ada UU itu mereka tidak rugi apa-apa. Ada kesan pengajuan uji materi itu by design.

Untuk menghindari konflik kepentingan seperti itu memang ada baiknya dalam amandemen UUD 1945 ketentuan tentang MK dimasukkan ke UUD. Dengan demikian MK tidak bisa seenaknya menganulir semua UU yang tidak dikehendakinya.

***

Bukan hanya MK, hukum kita sedang dihadapkan dengan ujian berat. Lihat saja, sekarang ini embaga hukum seperti Polri, MA, KPK, Badan Narkotika Nasional (BNN) bahkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transasksi Keuangan (PPATK) yang biasa mengintai rekening bank mencurigakan, memprotes pembahasan Rancangan Kitab Undang  Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan KUHP.

Pasalnya dalam RUU-KUHAP banyak wewenang yang dipangkas sehingga menyulitkan kerja mereka. KPK bahkan bisa lumpuh karenanya. Sedang dalam RUU KUHP disebutkan korupsi dan kejahatan narkotika bukan lagi kejahatan luar biasa.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved