UN = Ujian Sesat Pikir

Ujian Nasional (UN) kembali akan dilaksanakan tahun ini. UN pada tingkat SMA/SMK/MA dan SMALB dimulai pada Senin, 14 April 2014.

Editor: M Fadli Setia Rahman

Oleh: Edi Sugianto
Pemerhati Pendidikan di Jakarta

Ujian Nasional (UN) kembali akan dilaksanakan tahun ini. UN pada tingkat SMA/SMK/MA dan SMALB dimulai pada Senin, 14 April 2014. Kemudian disusul dengan SMP/MTs dan SMPLB pada 5 Mei 2014. (Kompas, 3/3/14).

Namun, sampai saat ini UN masih menjadi polemik seksi di kalangan pakar pendidikan. Tentu itu tak lepas dari kontroversi penyelenggaraannya. Pemerintah versus kebijakannya sendiri.

Pemerintah begitu getol mengadakan UN untuk kesekian kalinya. Dalihnya untuk mengukur pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP). Aneh tapi nyata, delapan standar nasional pendidikan kita masih sangat memprihatinkan. Apa yang mau diukur?

Alih-alih UN menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan, padahalkualitas guru, kelayakan sarana dan prasarana pendidikan pun belum sepenuhnya merata di berbagai daerah.

Apabila UN masih diselenggarakan, maka berarti pemerintah (Kemendikbud) dengan sengaja mengingkari keputusan MA No 2596 K/PDT/2008 mengenai penangguhan penyelenggaraan ujian nasional tersebut.

Penyelenggaraan UN, seakan-akan pemerintah menyamakan kualitas sekolah-sekolah di kota megapolitan dan metropolitan dengan sekolah-sekolah perdesaan, pedalaman dan perbatasan. Sungguh ini buah pikir yang irasional dan penuh kegalauan.

Pemerintah tak sekadar melanggar keputusan MA tersebut. Lebih menyakitkan lagi, menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan anak didik merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) secara sistemik.

Siswa-siswa yang gagal dalam UN, wajib menempuh ujian ulang. Ini akan berdampak buruk pada psikologis perkembangan mereka. Padahal UUD Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Bab I, Pasal I, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Pemerintah tak ubahnya menjilat ludah sendiri, lalu mengotori amanah UUD Sisdiknas tersebut dengan membuat regulasi Nomor 19 Tahun 2005 yang kontradiktif.

Pada Pasal 58 UUD Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, dijelaskan bahwa “Setiap satuan pendidikan dan pendidik diberikan kewenangan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didiknya dengan memantau prosesnya”. Ini bertentangan dengan Pasal 67 PP No. 19/2005, yang memberikan otoritas kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk menyelenggarakan UN yang harus diikuti semua peserta didik secara nasional.

Rancunya kebijakan seperti UN sangatlah memalukan dunia pendidikan. Secara konstitusional saja para pemimpin pendidikan kita tampak inkonsisten. Apalagi operasionalnya, tentu kekacauan terjadi di mana-mana.

UN semestinya bercorak‘evaluasi’, tujuannya memperbaiki desain dan kualitas pembelajaran ke depan. Bukan justru dijadikan ‘alat ukur’ untuk menentukan kelulusan anak didik. Inilah ‘paradigma sesat pikir’. (J.Sumardianta: 2012)

Akibat UN Paradigma sesat akan melahirkan kebijakan yang sesat dan menyesatkan, kemudian merugikan banyak pihak. Baik materi atau pun moril/psikologis.

Pertama, faktor materi. Kebijakan pemerintah mengenai penyelenggaraan UN sudah merugikan uang negara begitu besar. Ironisnya hanya segelintir yang mengetahui dan menyadari itu.

Halaman
12
Tags
Mendiknas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kita dan Affan

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved