UN = Ujian Sesat Pikir

Ujian Nasional (UN) kembali akan dilaksanakan tahun ini. UN pada tingkat SMA/SMK/MA dan SMALB dimulai pada Senin, 14 April 2014.

Editor: M Fadli Setia Rahman

Pemerintah terus menggelontorkan anggaran UN. Pada 2014 ini saja anggaran UN mencapai Rp 545 miliar. Dengan modal alasan, menjadikan anak-anak bangsa yanglebih berkualitas. Namun nyatanya UN hanya menyuapkan siswa-siswa dengan kertas-kertas kosong dengan waktu sesingkat-singkatnya.

Apabila ingin melakukan pengukuran mengenai pencapaian standar nasional pendidikan secara kuantitatif, maka pemerintah cukup melakukan pemetaan dengan sampling method di beberapa Sekolah Berstandar Nasional(SSN)saja.

Dengan demikian akan menekan anggaran pendidikan, dan mengalokasikannya pada sektor lain pendidikan yang lebih urgen. Perlu diingat, sampai detik ini masih banyak anak Indonesia yang terlantar akibat kemiskinan/pemiskinan pendidikan.

Namun tampaknya pemerintah berpikir seribu kali untuk melakukan efesiensi anggaran. Pasalnya UN sudah menjadi aset dan ladang bisnis yang sangat menggiurkan.

Potret bobroknya pendidikan bangsa ini, tak terlepas dari contoh buruk para pemimpinnya sendiri. Betapa tidak, pendidikan pun dijadikan komoditas ekonomi dan politik yang begitu gurih.

Kedua, faktor moril/psikologis. Kebijakan pemerintah tentang UN sebagai penentu kelulusan akan melahirkan generasi-generasi pengidap penyakit ‘paradigma instan dan sesa tpikir’. Sebab, peserta didik lebih mementingkan hasil belajar dari pada prosesnya. Ujian tak lagi dijadikan sebagai alat untuk belajar, melainkan belajar untuk ujian semata. Tujuan  sempitnya terbingkai dalam kertas sakti bernama‘Ijazah’.

UN sudah menggangu kejiwaan siswa dengan rasa takut dan cemas yang berlebihan, karena ketidaksiapan mengikutinya. Ditambah lagi pengawasan polisi dengan dalih membudayakan kejujuran.

Sejatinya UN versi pemerintah bukan menguji kejujuran melainkan memburu hasil instan semata. Justru budaya jujur sudah terpatri dalam tradisisekolah sejak lama. Inilah hipokrit pemerintah.

Ketika skor UN (5.50) dijadikan tujuan utama penentu kelulusan, maka peserta didik dan tim sukses UN menghalalkan segala cara demi meraihnya. Buktinya setiap kali UN, pasti budaya cheating dan test piracy terjadi tak terbendung.

Cheating adalah manipulasi penilaian pendidikan pada saat atau sebelum pelaksanaan ujian. Namun bila kejahatan penilaian dilakukan setelah ujian, itu disebut test piracy. Menurut saya, semua itu tergolong extra ordinary crime yang tak terampuni.

Setelah UN usai, pemerintah dan guru mengumumkan hasilnya yang konon memuaskan. Kemudian murid-murid bersuka cita, mencorat-coret seragam, dan berkonvoi di sepanjang jalan dengan ugal-ugalan.

Inikah prosesideal pendidikan, yang diharapkan membentuk generasi bangsa bermoral luhur dan rasional? Tentu sangat jauh dari makna dan semangat “humanisasi pendidikan”.

Akhirnya, menurut hemat penulis, UN selangkah telah menelanjangi tujuan mulia pendidikan. Tak ada solusi menyelamatkannya, kecuali pemerintah dengan tangan terbuka mengkaji kembali kebijakan-kebijakan semacam itu. Itulah makna reformasi pendidikan. Semoga! (*)

Tags
Mendiknas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kita dan Affan

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved