BBM dan Oposisi

ADA dua masalah besar yang akan mengadang Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) di awal pemerintahannya.

Editor: Dheny Irwan Saputra
zoom-inlihat foto BBM dan Oposisi
dokbpost
H Pramono BS

ADA dua masalah besar yang akan mengadang Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) di awal pemerintahannya. Pertama subsidi BBM (bahan bakar minyak) yang membengkak dan tingkah polah ‘oposan’ di DPR yang sejak awal gelagatnya akan menjegal pemerintahan mendatang.

Subsidi BBM yang terus membengkak sebenarnya hanya akibat dari sistem tata kelola BBM yang sudah dikuasai mafia. Penetapan Menteri ESDM Jero Wacik sebagai tersangka makin menguatkan dugaan itu. Permainan merekayang menyebabkan harga BBM terus naik yang ujung-ujungnya subsidi ikut naik.

Dalam penyusunan RAPBN 2015 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan anggaran Rp 2.000 triliun. Sayangnya tidak didukung kondisi fiskal yang kuat. Tidak ada uang sebanyak itu sehingga sisanya harus ditutup, entah dari mana. Anggaran defisit seperti ini tak pernah terjadi sebelumnya.

Dari Rp 1.500 triliun uang yang ada, hampir Rp 400 triliun tersedot untuk subsidi BBM. Uang Rp 400 triliun itu sangat besar, untuk membikin jembatan Selat Sunda pun masih sisa banyak. Sisanya bisa untuk membangun sekolah-sekolah yang ambruk, membangun jalan tol, waduk, menyediakan pengobatan gratis, dan beasiswa pelajar.

Semua pihak, pengusaha, pengamat bahkan Jokowi mengusulkan kepada Yudhoyono agar menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi, sehingga tidak mewariskan persoalan sangat berat. Kalau naik Rp 1.000/liter saja ada penghematan Rp 46 triliun, ini sudah sangat membantu.

Tapi Yudhoyono tetap menolak. Ia bahkan berujar pada 2005, saat mengawali pemerintahannya tidak pernah minta pada Megawati (presiden sebelumnya) agar menaikkan harga BBM. Semua diatasi sendiri.

Yang perlu dipertanyakan, mengapa subsidi BBM naik drastis. Jatah BBM 46 juta kiloliter pada 2014 ini akan habis pada  September. Lantas dari mana memenuhi kekurangannya? Pertanyaan berikutnya, siapa yang membuat kebijakan produksi mobil murah sehingga menambah konsumsi BBM?

Siapa pula yang membuat kebijakan impor BBM lewat calo? Jero Wacik dan Sekjennya Waryono Karyo, dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tentunya ada kaitan dengan kebijakan BBM.

Melihat rumitnya persoalan itu, Jokowi bersikap tegas, akan menaikkan harga BBM begitu memulai pemerintahannya. Dia tidak peduli dengan akibat yang menimpa dirinya, bahkan dia siap untuk tidak populer.

Dia melihat subsidi untuk rakyat itu perlu tapi untuk hal yang produktif. Sekarang ini 70 persen subsidi BBM dinikmati oleh mereka yang punya mobil. Karena itu subsidinya akan dialihkan untuk pupuk, bibit, pestisida, biaya kesehatan rakyat, pendidikan gratis dan hal lain yang lebih pro rakyat.

Sebaiknya kenaikan harga itu diiringi pula dengan pembasmian mafia minyak yang menjadi salah satu penyebab naiknya harga BBM. Impor minyak selama ini dikuasai mafia, lewat pengusaha ke pengusaha asing, tidak dari pemerintah ke pemerintah. Siapa di balik pengusaha itu harus diusut, digilas dan jangan dikasih ampun.

***

Subsidi BBM adalah salah satu peluru yang bisa diarahkan pada Jokowi. Masih ada peluru-peluru yang lain. Misalnya Koalisi Merah Putih sudah berhasil mengegolkan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).

Salah satu yang paling krusial adalah kedudukan ketua DPR dan ketua-ketua komisinya tidak lagi didasarkan pada perolehan suara pemilu terbanyak, tapi lewat pemilihan dengan sistem paket.

Dengan demikian legislator PDIP tidak akan bisa menjadi Ketua DPR seperti pemilu-pemilu sebelumnya karena kalah suara di DPR. Jokowi kehilangan salah satu kekuatan terpenting.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved