Ada Tidak Menambah
Meski berkantor di Senayan ada yang berpendapat dia bukan lembaga legislatif. Bahkan menurut Kompas 6 April 2017, saat pembentukan
Oleh: Pramono BS
DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang sejak kelahirannya tak terdengar kiprahnya tiba-tiba bagaikan macan yang lapar, mengaum, mengagetkan semua orang akibat tingkahnya yang tak biasa untuk sebuah lembaga negara. Hampir semua media massa menurunkan berita ini dengan huruf-huruf besar termasuk surat kabar terkemuka di tanah air, menunjukkan betapa seriusnya kasus DPD ini.
DPD itu lembaga baru yang didirikan untuk menampung aspirasi rakyat daerah. Dulu peran ini dipegang oleh Utusan Daerah yang menjadi fraksi sendiri dalam lembaga tertinggi negara, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ini sebagai konsekuensi dari perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001. Sebelumnya anggota utusan daerah dipilih pemerintah. Sekarang anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilu. Mereka juga disebut sebagai senator. Tiap provinsi mengirim 4 senator. Gaji dan fasilitas anggota DPD sama menggiurkannya dengan DPR sehingga banyak yang berminat.
Meski berkantor di Senayan ada yang berpendapat dia bukan lembaga legislatif. Bahkan menurut Kompas 6 April 2017, saat pembentukan DPD Fraksi PDIP dan Utusan Daerah MPR menolak pemberian status lembaga legislatif kepada DPD. Fungsinya pun diabatasi tidak seluas DPR. Fraksi TNI/ Polri saat itu menolak pembentukan DPD.
Dalam perkembangan selanjutnya DPD selalu dikelompokkan ke dalam lembaga legislatif. DPD masuk dalam Undang Undang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD). Presiden tanggal 16 Agustus juga menyampaikan pidato kenegaraan di depan DPD.
Perhatian masyarakat tertuju ke DPD hanya pada saat ribut-ribut. Terakhir ribut soal “rebutan jabatan” yang bermuara terpilihnya Oesman Sapta Odang (Kalimantan Barat) sebagai Ketua didampingi dua Wakil Ketua, Nono Sampono (Maluku) dan Darmayanti Lubis (Sumatera Utara). Mereka mengganti pimpinan lama Muahammad Saleh (Ketua) dan wakilnya Faruk Muhammad dan GKR Hemas.
Menurut UU masa kerja pimpinan DPD 5 tahun tapi DPD membuat peraturan sendiri, yakni Peraturan No 1/2016 dan No 1/2017 yang menetapkan masa jabatan pimpinan hanya 2 tahun 6 bulan. Sekarang ini saatnya mengganti pimpinan baru periode April 2017 - Oktober 2019. Tapi peraturan itu diuji materikan ke Mahkamah Agung oleh anggota yang menolak penggantian pimpinan. MA pun membatalkan peraturan itu dan kembali ke UU yang mengatur masa jabatan 5 tahun.
Tapi di bawah protes anggota, DPD tetap menyelenggarakan pemilihan pimpinan baru periode April 2017-Oktober 2019 pada Senin dinihari 3/4/2017. Alasannya dua peraturan DPD sudah dibatalkan sesuyai putusan MA. Sekarang menggunakan peraturan baru, yakni Peraturean DPD No 3/2017 yang baru saja dibuat.
Pimpinan baru pun terpilih. Tapi orang masih yakin pimpinan baru ini tidak akan sah karena tak mungkin MA datang memimpin pengambilan sumpah. Ternyata di luar dugaan, MA justru mengirim Wakilnya, Suwardi, untuk membimbing pengucapan sumpah pimpinan baru tersebut. Semua terkejut, mantan Ketua MA Harifin Tumpa sampai bilang, “bagaimana rakyat mau percaya kalau MA seperti ini.”
***
DPD sejak kelahirannya tidak menampakkan sebagai lembaga yang berjuang mewakili daerahnya. Presiden Joko Widodo pada tiap kunjungan ke daerah tidak pernah ada perwakilan DPD yang menyertai, padahal anggota DPD itu mewakili daerah. Ketika terjadi bencana alam tanah longsor di Ponorogo baru-baru ini anggota DPD dari Jatim bahkan sibuk berburu kursi untuk tokoh pujaannya.
Kalau mau dijalankan dengan benar fungsi DPD sebenarnya cukup penting meski bukan pengambil keputusan seperti DPR. Dia bisa mendeteksi kekurangan di daerah yang diwakilinya nya untuk diperjuangkan di Jakarta. Tapi jangankan itu, apakah para senator merasa mewakili daerah atau tidak, kini tidak jelas. Sebab anggota DPD kini boleh dari partai politik. Parpol mana yang tidak memanfaatkan kadernya di setiap sudut negeri ini?
Sebutan senator itu sangat terhormat, di Amerika Serikat jabatan senator sangat prestisius. Senat AS merupakan utusan dari negara bagian. Masing-masing negara bagian mengirim 2 senator yang masa kerjanya 6 tahun. Lebih lama dibanding DPR yang hanya 2 tahun.
Kewenangannya sangat luas seperti meratifikasi perjanjian luar negeri, mengonfirmasi pengangkatan anggota kabinet, hakim-hakim federal, perwira-perwira militer dan pejabat tinggi federal. Berwenang pula mengadili pejabat feredal yang dimakzulkan oleh DPR.
Rasanya terlalu jauh untuk membandingkan dengan AS. Asal mau menghormati hukum secara baik dan menjalankan tugas sesuai UU, cukuplah. Itu pun rakyat belum merasakan kehadirannya. Apalagi ditambah dengan kasus-kasus seputar kekuasaan. Orang bilang DPD itu datang tidak menambah, pergi pun tidak mengurangi. (*)
