Serambi Ummah

Bulan Safar Identik dengan Tradisi Tolak Bala dan Rebo Wekasan, Begini Hukumnya Dalam Islam

Bulan Safar Identik dengan Tradisi Tolak Bala dan Rebo Wekasan, Begini Hukum Melaksanakannya Dalam Islam

Penulis: Yayu Fathilal | Editor: Restudia
istimewa
Bulan Safar 

Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang tidak memiliki kehendak dan berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.

Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial.
Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.

Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah,"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (H.R.Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ungkapan hadits laa ‘adwaa’ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.

Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah.
Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah.

Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah.

Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: “Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat.”
Maksud hadits laa thiyaarota atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan, karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin.

Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah.
Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.

Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah dihadapkan pada perkara-perkara tersebut.

Di Desa terpencil wilayah hukum Polres Banjarbaru ini seluruh warga kumpul duduk simpuh di ruang terbuka melantunkan doa.
Di Desa terpencil wilayah hukum Polres Banjarbaru ini seluruh warga kumpul duduk simpuh di ruang terbuka melantunkan doa. (banjarmasinpost.co.id/nia kurniawan)

Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan.

Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya.

Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikannya, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas.

Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.

Penolakan akan keempat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada.
Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya.
Allah-lah yang memberi pengaruh.

Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar, tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved