Breaking News

Berita Banjarbaru

BPJS Kesehatan Naik, Begini Pandangan Dosen Fakultas Kedokteran ULM Ini

Dosen Fakultas Kedokteran ULM dr. Iwan Aflanie M. Kes, Sp.F, SH berpendapat Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diberlakukan per 1 Januari 2020

Penulis: Nia Kurniawan | Editor: Hari Widodo
istimewa
Dosen Fakultas Kedokteran ULM dr. Iwan Aflanie M. Kes, Sp.F, SH 

2) Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan anggota keluarganya, termasuk dalam kelompok ini adalah para pekerja mandiri dan WNA yang sudah tinggal sedikitnya 6 bulan di Indonesia.

3) Bukan Pekerja (BP) yang masuk dalam kategori Bukan Pekerja adalah investor, pensiunan, janda/duda beserta anak yatim penerima pensiunan, veteran perang, pekerja WNA yang bekerja minimal 6 bulan.

Bila  mencermati dan membandingkan besaran iuran dengan manfaat yang didapat oleh peserta BPJS Kesehatan, kita tentunya dengan mudah menemukan adanya ”ketimpangan”.

Menggunakan istilah ketimpangan karena memang demikian adanya, sebagai ilustrasi seorang peserta BPJS Kesehatan kelas 3 dengan iuran Rp. 25.500,- bisa mendapatkan pelayanan cuci darah yang tarifnya puluhan kali lipat dari besaran iuran.

Dari sudut pandang peserta/pasien ini merupakan keuntungan namun dari sudur pandang BPJS hal ini adalah “kerugian”, ibarat pepatah besar pasak daripada tiang. Ini merupakan ”ketimpangan” namun merupakan fenomena yang diharapkan. Jadi BPJS merugi adalah sebuah keniscayaan.

Dengan azas gotong royong “ketimpangan” ini bisa tertutupi atau setidaknya tidak terlalu merugikan, karena kerugian BPJS adalah kerugian negara. Dalam konteks ini wacana kenaikan tarif atau lebih tepatnya penyesuaian tarif adalah sesuatu yang masuk akal.

Harus dicermati bahwa rendahnya iuran BPJS Kesehatan bukanlah satu-satunya variabel yang menyebabkan BPJS merugi, masih banyak faktor yang harus dikendalikan. Tunggakan iuran peserta dan fraud (kecurangan) yang mewarnai perjalanan JKN juga patut diperhitungkan.

Fraud adalah suatu fenomena yang selalu menarik untuk diperbincangkan karena kecurangan bisa dilakukan oleh siapa saja.

Dalam konteks BPJS Kesehatan kecurangan dapat dilakukan oleh peserta, pengelola maupun provider kesehatan. Bentuk kecurangan dari peserta bisa berupa tidak membayar iuran, masuk jadi anggota BPJS ketika sakit lalu keluar dari keanggotaan setelah mendapat pelayanan kesehatan dan sembuh.

Salah satu bentuk kecurangan pengelola bisa muncul dalam bentuk ketidaktransparanan dan pembuatan regulasi yang sepihak.

Kecurangan provider kesehatan bisa terjadi dalam bentuk up coding (mengubah diagnosis sebenarnya menjadi diagnosis yang tarifnya lebih tinggi) dan Inflated Bills (penggelembungan tagihan obat dan alkes). Tentunya masih banyak model fraud yang mengancam pelaksanaan JKN.

Baca: Poster Jembatan Rumpiang, Nanas dan Padi Anjir Bikin Nanang Rudian Harumkan SMPN 4 Alalak Batola

Baca: Kulit Kayu Halaban Dipercaya untuk Sembuhkan Panyakit Amandel

Baca: Kebutuhan Air Sehari 86 Ton, RS Andi Abdurrahman Noor Tanahbumbu Alami Krisis Air Bersih

Pada titik ini mungkinkita bisa bersepakat bahwa penyelesaian masalah defisit BPJS bukan hanya masalah penyesuaian tarif.

Berkaca dari kondisi saat ini, bagi masyarakat penyesuaian tarif dalam bentuk kenaikan iuran pastilah terasa memberatkan. Namun dari sudut pandang BPJS dan pemerintah penyesuaian tarif boleh jadi menjadi sesuatu yang sangat penting untuk mengatasi potensi defisit lebih lanjut yang semakin mengancam keuangan negara.

Tentunya harus ada konsep “win-win solution” dalam menghadapi dilema ini. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan harus disertai dengan peningkatan mutu layanan kesehatan bagi segenap rakyat Indonesia.

Masih ada pertanyaan yang tersisa, apakah kenaikan tarif harus 100% dan apakah harus diberlakukan saat ini, nampaknya diskusi masih akan terus berlanjut.

(banjarmasinpost.co.id/niakurniawan)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved