BPost Cetak

BPJS, Listrik dan LPG 3 Kg Naik, Inilah Kapitalis Rasa Sosialis

Jika semua beban biaya diserahkan para mekanisme pembentukan harga yang ditentukan oleh pasar, inilah indikator ciri sistem kapitalisme.

Editor: Hari Widodo
Kompas.com/ Luthfia Ayu Azanella
Ilustrasi BPJS Kesehatan 

Oleh: Usluddin Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Hasanuddin Makassar

BANJARMASINPOST.CO.ID - PER 1 Januari yang lalu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi melakukan kenaikan tarif BJS Kesehatan.

Kenaikan ini tarif ini dinilai sangat progresif sebab kenaikannya hingga 100 persen dari tarif yang sebelumnya.

Dalih pemerintah atas adanya kenaikan tairf ini untuk menyelesaikan utang BPJS Kesehatan kepada ruma sakit karena tak mampu lagi melakukan penyeimbangan saldo antara biaya beban tanggungan peserta dengan pembayaran iuran yang masuk.

Selain itu, ada indikasi kepesertaan BPJS Kesehatan hanya digunakan saat sakit saja dan langsung berhenti ketika telah sembuh. Alasan lain, yang paling tidak rasional bahwa tarif saat ini masih sangat murah dibanding perhitungan tim aktuaria.

Juarai Lomba Fotografi, Pelajar ABK Ini Paling Suka Objek Trotoar Ramah Disabilitas

SKD CPNS 5 Daerah Ini Gabung di Pemprov, Jangan Lupa, Kamis Pengambilan Terakhir Kartu Tes

Viral di Medsos, Bocah Penjual Parfum Ini Tertidur di Trotoar, Bila Tak Laku Bakal Disiksa Ayahnya

Hasil Autopsi Lina Ditanyakan ke Rizky Febian, Putra Sulung Sule Beri Reaksi Tak Terduga

Bukan hanya BPJS Kesehatan, dalam waktu dekat pemerintah melalui Kementerian ESDM juga sedang dalam tahap finalisasi kenaikan TDL sekaligus pencabutan subsidi untuk pelanggan 900VA.

Alasannya banyak pelanggan yang terindikasi tidak layak menggunakan tarif tersebut, hal ini berdasarkan pada laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNPPK) yang bekerja sama dengan lintas kementerian seperti Kemensos, Kemendagri, BPS dan Kemenkes. Hasilnya, masyarakat kian diberatkan dengan kenaikan tarif TDL ini.

Terbaru, pemerintah pun sedang menyiapkan skema penghapusan subsidi pada tabung gas 3 KG (gas melon). Alasannya sama, banyak mampu tapi ikut menggunakan gas yang seharusnya diperuntukkan bagi orang miskin.

Lagi dan lagi kemiskinan selalu menjadi andalan pemerintah untuk melakukan justifikasi atas kebijakan kenaikan harga.

Persamaan dari ketiga skema kenaikan harga atau tarif tersebut terletak pada besaran subsidi yang selama ini dinila telah memberatkan APBN.

Memang subsidi merupakan cara paling ampuh yang ditempuh pemerintah untuk membantu meringankan beban masyarakat agar daya beli tetap tinggi ditengah resesi ekonomi dan ancaman krisis global.

Pemerintah memang tidak sepenuhnya salah, sebab subsidi bersifat sementara dan akan dicabut kembali ketika dinilai kondisi keuangan masyarakat sudah pulih. Ya, itulah justifikasi andalan pemerintah jika berniat mencabut subsidi dalam masyarakat.

Jika semua beban biaya diserahkan para mekanisme pembentukan harga yang ditentukan oleh pasar, inilah indikator paling umum yang ditemukan sebagai ciri sistem kapitalisme.

Kapitalisme selalu ingin mendasarkan asumsinya pada akumulasi modal dan penyeimbangan antara kas dan ekuitas.

Tak peduli apakah kebijakan tersebut merugikan (baca:memberatkan) masyarakat. Indikator lain, pemerintah selalu ingin menempatkan diri sebagai regulator dalam setiap hal.

Hal ini dikarenakan pemerintah menganggap bahwa intervensi berlebihan akan mengubah harga keseimbangan yang diciptakan oleh pasar.

Sebab negara hanya membatasi dirinya sebagai regulator untuk mengatur persaingan dalam masyarakat dan menjamin hak dan kewajiban dapat berjalan secara seimbang.

Haram hukumnya bagi negara untuk mengatur aspek subjektifitas masyarakat, merupakan ciri lain dari kapitalisme.

Jika semua indikator ini dapat berjalan dengan baik, maka negara telah menjalankan sistem pemerintahan dengan konsep kapitalisme paripurna.

Sebuah alibi justru ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia, sebab disatu ingin menunjukkan ciri khasnya sebagai agen kapitalis sejati sekaligus menunjukkan sikap refeseif dan cenderung mencampuri aspek subjektifitas masyarakat.

Lihatlah intervensi yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama, misalnya doktrin radikalisasi yang selalu digembar-gemborkan. Atas hal ini, Siti Zuhro (peneliti LIPI) berpendapat bahwa bukan radikalisme yang menjadi musuh akut Indonesia tapi budaya korupsi dan kesenjangan pembangunan. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan radikalisme.

Hal refresif lain yang sedang dipertontonkan negara dengan wacana penyeragaman ceramah bagi umat Islam serta daftar ustadz yang direkomendasikan oleh kementerian yang dipimpin oleh Jenderal (Purn) Fakhrurrazi yang bisa diundang dalam acara-acara keagamaan yang dilakukan oleh kantor-kantor pemerintahan.

Puncak refresif pemerintah dalam melakukan intervensi adalah pemerintah ingin menggunakan dana haji untuk kepentingan investasi untuk memacu akselerasi pembangunan. Dana haji untuk pembangunan memang sangat menggiurkan, ditengah arus pembangunan yang bertumpu pada utang luar negeri.

Tindakan refresif seperti ini mengindikasikan pemerintah mengadopsi sisem sosialis, seperti yang dipertontonkan oleh Xi Jinping terhadap komunitas muslim Uighur di Provinsi Xinjiang di bagian Utara Tiongkok.

Berseberangan dengan sistem Kapitalisme, Sosialisme justru menghendaki kehidupan masyarakat yang serba mendapat pengaturan oleh intervensi negara. Intervensi ini sampai pada akumulasi modal dan kekayaan harus menjadi milik negara yang digunakan untuk melakukan distribusi pendapatan untuk menghindari segregasi sosial dalam masyarakat.

Corak pembangunan yang menjadi inspirasi dalam arah pembangunan Indonesia meniru cara kapitalisme dalam menyerahkan sepenuhnya pembentukan harga kepada mekanisme pasar dan pengurangan subsidi untuk masyarakat miskin.

Tapi juga meniru cara Sosialis dalam menunjukkan sikap refresif (baca:otoriter) terhadap urusan subjektifitas masyarakat. Inilah standar ganda yang sedang dipertontokan oleh rezim Presiden Jokowi saat ini.

Demokrasi ekonomi Pancasila yang selalu digadang-gadang menjadi jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme hanya tinggal slogan dan pemanis saat kampanye dulu. Faktanya, hampir tidak ada upaya nilai-nilai Pancasila yang diterapkan dalam setiap kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah hari ini.

Akibat ketidakkonsistenan yang ditunjukkan oleh pemerintah dalam pembangunan, mengakibatkan banyak indikasi kemunduran yang terjadi.

Misalnya era Presiden Jokowi dinilai semangat pemberantasan korupsi sangat lemah, juga langkah antisipasi negara dalam menjaga aset-aset negara tidak sehingga aset-aste tersebut banyak dijual kepada pihak asing dengan dalih investasi.

Soal Selat Natuna, era Jokowi juga diklaim sebagai era paling lemah dalam mempertahankan kedaulatan negara.

Edarkan Sabu 50 Kg Per Bulan, Narkoba Said Disuplai dari Malaysia

Darah Jelek Ashanty Disinggung Saat Istri Anang Bahas Penyakitnya, Ibu Aurel Hermansyah Ungkap Ini

Kehamilan Nagita Slavina Disinggung Raffi Ahmad, Ipar Syahnaz & Nisya Ahmad Mantap Bereaksi Begini

Atas kondisi ini, kita berharap kebangkitan kesadaran masyarakat sipil yang menjadi pemantik untuk melakukan upaya-upaya advokasi demi melindungi kepentingan masyarakat.

Jurgen Hubermas (Sosiolog Jerman) sanga percaya bahwa masyarakat sipil yang tercerahkan akan membantu mewujudkan masyarakat komunikatif, sebagai bentuk paripurna potret berjalannya kehidupan dalam masyarakat.

Masyarakat komunikatif, bagi umat Islam seperti pesan yang terkandung dalam Q.S Saba ayat 15: negara baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved