Panglima Wangkang Dayak Bakumpai
Mengenal Sosok Panglima Wangkang, Pejuang Dayak Bakumpai di Kalimantan Selatan Gigih Perangi Belanda
Panglima Wangkang merupakan pejuang rakyat Dayak Bakumpai di Marabahan Batola, Kalimantan Selatan, yang gigih berjuang melawan penjajahan Belanda.
Penulis: Muhammad Tabri | Editor: Syaiful Akhyar
Editor: Syaiful Akhyar
BANJARMASINPOST.CO.ID, MARABAHAN - Panglima Wangkang merupakan pejuang rakyat Dayak Bakumpai di Marabahan, kabupaten Batola Kalimantan Selatan yang gigih berjuang melawan penjajahan Belanda.
Ia lahir sekitar tahun 1812 di Bakumpai (sekarang disebut Marabahan). Ayahnya bernama Demang Kendet asli orang Bakumpai dan ibunya Ulan, berasal dari Karang Anyar, Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Semenjak remaja Panglima Wangkang telah antipati dengan Belanda. Karena ayahnya, Kendet tewas di tiang gantungan oleh perbuatan Belanda.
Ia pun bertekad melanjutkan perjuangan ayahnya dengan mengangkat senjata. Guna membalaskan dendam serta mempertahankan hak-hak masyarakat Bakumpai dari penjajahan.
Baca juga: Banjir Kalsel di Batola Belum Seluruhnya Surut, 5920 Jiwa Korban Banjir Masih Mengungsi
Baca juga: Polisi Bekuk Pembobol Rumah Kosong di Palangkaraya Kalteng Menjarah Brankas Perhiasan Berlian
Baca juga: Pilkada Kalteng, Hari Ini Mahkamah Konstitusi Sidang Sengketa Pilgub Kalteng dan Pilbup Kotim
Pada tahun 1850 Panglima Wangkang sudah mulai memimpin pasukan untuk memerangi Penjajah. Serangan pertama dilakukan di benteng Belanda di Banjarmasin.
Pertempuran pertamanya sebagai Panglima Perang tidak berjalan mulus, karena keterbatasan pasukan dan persenjataan yang kurang memadai.
Wangkang pun terus berupaya menyusun strategi dan kekuatan untuk melumpuhkan Belanda.

Ia pun membangun markas pertahanan pasukan pertama dipusatkan di daerah pedalaman ujung Panti, kemudian berpindah ke Balandian.
Berkali-kali panglima Wangkang memimpin pasukan menyerbu benteng Belanda di Banjarmasin, selalu gagal. Baru sekitar tahun 1960-an pasukan Wangkang berhasil memasuki benteng tersebut.
Puluhan tentara Belanda roboh bersimbah darah. Menurut ceritanya, membunuh Belanda di benteng itu sama dengan "manangsang gadang" (dalam bahasa Bakumpai berarti menebang atau menebas pohon pisang).
Dikutip dari Buku Sejarah Perjuangan Rakyat Barito Kuala, yang disusun oleh Maskuni dkk. Di samping membunuh penghuni benteng Pasukan Wangkang juga merampas beberapa pucuk senjata tentara Belanda yang sudah menjadi mayat.
(Banjarmasinpost.co.id/Muhammad Tabri)