Jendela
Kredo dan Kerinduan
Penulis Mochtar Pabottinggi telah wafat, ini kata Prof Dr Mujiburrahman mengenai tulisan berjudul Orang-orang dalam Kredo
BANJARMASINPOST.CO.ID - KEMARIN, Ahad 4 Juni 2023 dini hari, Mochtar Pabottinggi (1945-2023), telah wafat. Secara fisik, saya tidak pernah berjumpa langsung dengannya. Namun, saya seringkali terpukau membaca tulisan-tulisannya. Di antara begitu banyak karyanya, yang belakangan sangat mengesankan saya adalah dua tulisannya di Kompas, yakni “Orang-orang dalam Kredo” (4 Juni 2015), dan “Panggilan Kerinduan” (8 Maret 2023). Meski ditulis pada waktu yang berjauhan, dua artikel ini menunjukkan impian realistis tentang manusia-manusia mulia, yang selalu ada dalam sejarah kita dan wajib dijadikan teladan.
Orang-orang dalam kredo, bagi Pabottinggi, adalah orang yang hidupnya tertuntun oleh prinsip-prinsip luhur. “Hidup mereka sarat kebajikan dan perjuangan. Mereka sadar dan tulus memilih berbakti kepada sesama serta membangun bangsa di tengah tantangan berat maupun di tengah kesunyian.” Mereka bukan sekadar ‘orang baik-baik’, melainkan orang-orang yang berusaha memperbaiki yang rusak. Mereka berbuat baik bukan untuk pamer dan pencitraan, melainkan lahir dari keyakinan yang teguh bahwa mewujudkan kebaikan memang tugas hidup mereka.
Pabottinggi menunjukkan bahwa orang-orang semacam itu selalu ada di sepanjang sejarah, baik yang dikenal ataupun tidak, yang dari kelas bawah ataupun atas, yang berpendidikan tinggi ataupun rendah. Sebagian mereka ada di sekitar kita, dan kadangkala media juga meliput mereka. Mereka adalah orang-orang kecil yang bekerja keras mencari rezeki yang halal dan menolong sesama yang lemah. Ada pula yang berasal dari kalangan menengah dan atas. Mereka bukan elit yang serakah, melainkan tokoh-tokoh yang mengutamakan kepentingan orang banyak.
Pabottinggi secara khusus menekankan karakter kaum terpelajar yang berkredo. Mereka adalah kaum terpelajar yang melaksanakan asketisme intelektual, yang tidak silau dengan godaan kemewahan duniawi, tidak takut ancaman kekuasaan, dan selalu peduli dengan kaum yang lemah dan tertindas. Ketika menduduki jabatan, mereka gunakan kekuasaan dengan sebaik-baiknya untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Keteguhan berpegang pada nilai-nilai moral itu membuat mereka siap menanggung segala resiko seperti dicopot dari jabatan, dipenjara bahkan dihilangkan.
Senada dengan artikel tentang manusia berkredo, artikelnya yang cukup baru berjudul “Panggilan Kerinduan” mengingatkan pembaca bahwa selalu ada harapan di balik pesimisme yang meluas, menyaksikan sosok-sosok yang penuh kemunafikan dan kebobrokan moral. Pabottinggi mengutip Benedict Anderson, yang menulis tentang para pemimpin Indonesia di awal kemerdekaan. “Mereka saling berselisih sebagaimana lazimnya politisi, namun mereka sama-sama merasa sebagai bagian dari satu arus emansipatoris,” tulis Anderson sebagaimana dikutip Pabottinggi.
Menurut Pabottinggi, “dalam keutuhan tekad bakti mayoritas Bapak/Ibu bangsa, mereka kebal terhadap pelbagai godaan duniawi dan dorongan untuk korupsi. Mereka pantang terpikat, apalagi berlupa, dalam kenikmatan ragawi di tengah derita mayoritas rakyat yang masih berkalang puing-puing penjajahan..” Namun, dia segera mengingatkan bahwa mereka bukanlah manusia sempurna, atau manusia seperti malaikat, melainkan manusia yang mungkin melakukan kesalahan pula, tetapi tidak pernah mau melanggar prinsip-prinsip yang menjadi penuntun hidup mereka.
Setelah Reformasi berlangsung selama 25 tahun, dan menjelang Pemilu 2024, apa yang dikemukakan Pabottinggi di atas sangatlah menggugah. Menurut salah satu teori psikologi tentang normalitas, manusia yang normal adalah yang memiliki tujuan hidup yang jelas dan menghayati tujuan hidupnya itu. Sebagai bangsa, kita pun telah merumuskan tujuan hidup berbangsa dan bernegara seperti tertulis dalam konstitusi kita. Namun, apakah kita benar-benar menjadikannya tujuan hidup berbangsa dan menghayatinya sehingga kita memperjuangkannya dengan tulus dan sekuat tenaga?
Pabottinggi menegaskan, ada banyak orang dalam kehidupan bangsa ini, sepanjang sejarahnya, yang benar-benar teguh berpegang pada cita-cita luhur itu. Mereka tidak pernah sirna, meskipun kadangkala mereka terpinggirkan dan terlupakan. Agar semangat dan optimisme kita tak padam, kita harus seringkali mengingat dan menghadirkan mereka dalam wacana, pemikiran, hingga tingkah laku kita. Karakter mereka yang teguh berpijak di atas keluhuran budi dan terbuka pada berbagai gagasan, harus menjadi karakter yang diikuti dan diidolakan oleh kita dan anak cucu kita.
Akhirnya, meskipun saya tidak mengenalnya secara dekat, saya kira Pabottinggi adalah cendekiawan yang mengamalkan apa yang ditulisnya. Ia adalah cendekiawan yang asketis. Kepergiannya adalah kehilangan besar bagi bangsa kita. Selamat jalan menuju keabadian dalam rahmat dan ampunan-Nya. (*)
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Banjarmasin Post
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.