Opini
Hasil PISA 2022 dan Mutu Pendidikan
DUNIA pendidikan kembali mendapat kabar kurang baik. Skor Programme for International Student Assessment (PISA) baru-baru ini
Oleh: Tri Pujiati
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Kudus
DUNIA pendidikan kembali mendapat kabar kurang baik. Skor Programme for International Student Assessment (PISA) baru-baru ini mengonfirmasi bahwa pendidikan di Indonesia masih kalah jauh dari negara-negara lain.
Berdasarkan skor PISA yang dipublikasikan pada tanggal 05, Hasil Program Penilaian Pelajar Internasional tahun 2022 secara global menurun, termasuk Indonesia. Pandemi Covid-19 turut memicu penurunan skor tentang kemampuan siswa di bidang literasi, numerasi, dan sains tersebut.
Hasil PISA 2022 itu menunjukkan antara tahun 2018 dan 2022 rata-rata skor di 35 negara OECD turun hampir 15 poin untuk skor matematika, 10 poin untuk skor membaca, tetapi tidak berubah signifikan untuk skor sains.
Penurunan skor PISA yang disinyalir karena pandemi Covid-19 tidak bisa dijadikan alibi. Sebab skor pisa di tahun-tahun sebelumnya, Indonesia selalu berada di bawah rata-rata.
Baca juga: Jaga Kerukunan Umat
Baca juga: Tinggi Muka Air Sungai dan Waduk di Banjar Masih Aman, Banjar Siaga Darurat
Ini artinya, evaluasi pendidikan penjadi salah satu tantangan bagi bangsa Indonesia jika tidak ingin semakin tertinggal dari negara-negara lain.
Kondisi ini tentu memerlukan energi lebih untuk membangun kembali pondasi pendidikan di Indonesia.
Tanpa mengabaikan prestasi anak-anak yang menang dalam beberapa Olimpiade, namun secara keseluruhan kita membutuhkan banyak anak-anak untuk berprestasi lebih.
Persoalan pendidikan di Indonesia tidak hanya berasal dari satu arah. Namun dari berbadai sudut.
Hasil PISA yang memperlihatkan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia di skor 371 berada di posisi ke-74, kemampuan Matematika mendapat skor 379 berada di posisi ke-73, dan kemampuan sains dengan skor 396 berada di posisi ke-71 sebagai alarem rendahnya pendidikan kata.
Ada beberapa persoalan mengapa pendidikan kita gagal berkembang, terutama jika dilihat dari setiap rilis skor PISA.
Pertama, gagalnya bangsa Indonesia menyelesaikan persoalan yang dialami bertahun-tahun. Skor PISA konsisten dipublikasikan setiap 3 tahun.
Namun kita kerap kali mencari kambing hitam, bukan ke penyelesaian masalah, yang terjadi justru bantahan atau counter terhadap hasil tersebut. Hasil penilaian PISA dianggap tidak objektif dan lain sejenisnya sehingga persoalan yang semestinya diselesaikan, justru tidak tersentuh sama sekali.
Akibatnya, problem pendidikan kita berjalan di tempat. Bahkan, tiga tahun kemudian ketika PISA merilis lagi hasil, peringkat kita tetap duduk di tempat yang sama.
Baca juga: Terima Remisi Keagamaan 15 Hari, Dua Warga Binaan Kasus Narkotika di Rutan Marabahan Sumringah
Harus diakui bahwa skor PISA berfokus pada persoalan membaca, menghitung (matematika), dan sains.
Sementara disiplin keilmuan lain seperti seni, olahraga, ilmu sosial, budaya, dan humaniora yang diperlukan untuk mengasah empati, apresiasi, solidaritas sosial, dan sikap demokratis dikesampingkan.
Namun begitu, kita tidak perlu mengkritik secara serius program PISA. Sebab hasil PISA harus menjadi evaluasi kritis bagi sistem pendidikan kita.
Skor PISA, bahkan hasil survei lainnya tentu tidak memiliki alat yang sempurna untuk mengukur kemampuan siswa. Sebab tidak alat ukur yang sempurna untuk mendeteksi kemampuan siswa dengan baik.
Namun, skor PISA harus menjadi pelecut sekaligus motivator bagi pendidikan di Indonesia untuk lebih baik. Data yang disediakan oleh PISA harus dimanfaatkan sebaik-baiknya guna memperbaiki kondisi pendidikan kita. Jangan sampai skor PISA hanya menjadi bahak kritik tanpa melakukan evaluasi
Kedua, program kurikulum kita yang kerap kali berubah-ubah. Sejak PISA diluncurkan 23 tahun silam, kurikulum kita sering kali bergonta-ganti. Tercatat ada tiga kali pergantian kurikulum hingga yang terakhir kurikulum 2012 (K-13) Slogan “ganti menteri ganti kurikulum” kerap kali menjadi sindiran bagi pemerintah.
Namun Kemendikbud di bawah Nadim Makarim ini persoalan gonta-ganti kurikulum mulai hilang.
Dengan merujuk pada hasil PISA, pemerintah kemudian melakukan kinerja pendidikan yang didasarkan pada PISA. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk sekolah di bawah Kemendikbud dan Asesmen Kompetensi Madrasah Indonesia (AKMI) untuk madrasah di bawah Kemenag. Keduanya didasarkan pada cara berpikir asesmen yang dilakukan dalam PISA.
Kurikulum yang dirancang oleh pemerintah tidak serta-merta buruk. Semua kurikulum yang dirancang pemerintah sesuai dengan konsep POISA.
Namun yang menjadi kendala adalah ketika kurikulum berganti, otomatis sekolah dan semua elemen pendidikan harus beradaptasi lagi.
Objek pendidikan harus menyesuaikan dengan kurikulum baru dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pada saat itu lah pola ajar dan transfer pendidikan terkendala.
Ketiga, kemampuan minat baca bangsa Indonesia yang masih rendah. Data UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Masih menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001persen. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Riset lain dari Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Itu artinya, Indonesia memiliki sumber daya untuk engejar ketertinggalan minat baca jika serius dalam berbenah.
Kemampuan membaca bukan soal menghatam buku. Akan tetapi kedalaman memahami isi teks tersebut. Kemampuan membaca harus menukik ke kedalaman teks, ketahanan menjaga fokus, dan pemeliharaan nalar untuk terus mengikuti bangun-struktur teks, terus mengenali keragaman tipologi dan kompleksitas teks (Ibrahim, 2017). Dengan begitu kita bisa memahami apa yang dimaksud oleh teks tersebut.
Akhirnya, PISA bukan satu-satunya tolak ukur kemampuan pendidikan di dunia. Masih banyak parameter-parameter lain yang harus terus digali. Namun, temuan PISA harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah.
Skor PISA adalah bagian dari cermin untuk memulihkan pendidikan kita. Faktor-faktor yang memengaruhi skor PISA seperti yang dijelaskan di atas juga harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah. Jika tidak, pendidikan di Indonesia akan terus berada di peringkat terbawah. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.