Opini Publik
Urgensi Debat
Debat meskipun tidak secara langsung dapat menaikkan atau menurunkan elektabilitas calon, setidaknya rakyat dapat melihat kapasitas calon
Oleh: Ahmad Barjie, Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel
BANJARMASINPOST.CO.ID - KAMPANYE pemilu kali ini dan terdahulu, rakyat Indonesia menyaksikan rangkaian debat capres dan cawapres yang disiarkan televisi.
Debat tersebut penting dan bermanfaat. Meskipun tidak secara langsung dapat menaikkan atau menurunkan elektabilitas calon, setidaknya rakyat dapat melihat kapasitas calon, baik isi kepala yang mencerminkan kecerdasan dan kemampuan, maupun isi hati yang mencerminkan etika dan kepribadian.
Sebelumnya, sejumlah televisi juga juga sering menggelar acara debat dengan berbagai tema dan narasumber. Ternyata, acara debat cukup digemari oleh pemirsa.
Kelompok dan tokoh masyarakat, partai politik, caleg, ulama, dan calon pemimpin yang terkesan berseberangan dipertemukan dalam arena debat.
Meskipun belum menghasilkan pencerahan dan kebenaran optimal, setidaknya debat mampu mengurangi prasangka dan miskomunikasi. Sebelum atau sesudahnya mereka biasanya saling berjabat tangan.
Debat, dari bahasa Inggris debate, artinya perdebatan. Orang yang berdebat disebut debater. Masalah kontroversial yang menjadi topik perdebatan disebut debatable.
Berbicara tentang masalah dalam dan luar negeri kita tentu amat banyak yang bisa dijadikan bahan perdebatan. Dari persoalan ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, pertahanan-keamanan, poilitik luar negeri dan sebagainya.
Sarat Masalah
Mengingat Indonesia sarat dengan masalah lama dan baru, dipastikan ke depan tetap bermunculan berbagai ihwal kontroversial dan debatable. Artinya, forum debat perlu dikembangkan karena tidak akan pernah kekurangan topik bahasan.
Pertanyaannya, bagaimana jalannya debat selama ini, dan bagaimana etika debat yang sebaiknya menurut tuntunan agama.
Dalam bahasa Arab, ada istilah al-jadal, maksudnya debat atau perbantahan. Di dalam Al-Quran ada surah khusus bernama Al-Mujadilah, diantaranya perdebatan seorang wanita bernama Khaulah binti Tsa’labah kepada suaminya yang bernama Aus bin Shamit.
Penyebabnya, sang suami suka menzihar dirinya, yaitu menyebut punggung istrinya sama dengan punggung ibunya.
Sikap ini termasuk tradisi jahiliyah sebagai bentuk lain dari talak, sebab bila sudah zihar suami tidak mau lagi menggauli istrinya.
Aus bersikeras dengan sikapnya, sehingga Khaulah mengadu kepada Rasulullah. Akhirnya turun ayat 1-4 surah ini, berisi hukuman kepada Aus atau siapa saja yang berbuat serupa dengan cara memerdekakan budak, jika tidak sanggup harus berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak sanggup juga wajib memberi makan 60 orang fakir miskin. Ini pelajaran agar jangan suka berdebat dengan mempermainkan ajaran agama.
Surah an-Nahl ayat 125 juga menggariskan tentang perdebatan. Manusia harus diseru kepada kebenaran dengan cara bijaksana, yaitu hikmah dan nasihat yang baik serta berdebat dengan cara yang lebih baik.
Rasulullah pernah berdebat dengan kaum Nasrani dari Najran-Yaman, bertempat di Masjid Nabawi Madinah. Nabi sangat santun dalam debatnya tidak memaksakan kebenaran, sehingga orang menaruh hormat.
Seorang tokoh Najran mengakui argumen Muhammad benar, namun dia belum bisa menerimanya karena khawatir kehilangan kedudukan di tengah kaumnya.
Istilah Alquran tentang qaulan ma’rufa, qaulan sadida, qaulan baligha, qaulan karima, qaulan layyina tak lain menyuruh kita agar dalam berbicara, berdakwah, berdiskusi dan berdebat selalu menggunakan kata-kata yang baik, bukan sebaliknya.
Beberapa Etika
Surah Thaha ayat 44 Allah menyuruh Nabi Musa dan Harun mendakwahi dan mendebat firaun dengan kata-kata yang baik.
Mengacu ayat ini Khalifah Harun al-Rasyid pernah marah kepada ulama yang mendebatnya. Al-Rasyid berkata: “Aku lebih mulia daripada firaun dan kamu lebih rendah dari Nabi Musa dan Harun. Tetapi ketika Allah menyuruh keduanya berdakwah kepada firaun, mereka berkata dan berdebat dengan santun dan sopan.
Sikap santun juga dilakukan Nabi Ibrahim ketika berdebat dengan raja Namruj. Sementara kamu berkata-kata keras dan kasar”.
Jelas dalam debat ada etika. Musthafa al-Maraghi (1996) dan Syamsuri Siddiq (1983) menekankan, di antara etika debat adalah sikap rendah hati, sopan santun, saling memberi kesempatan kepada lawan untuk bicara, tidak memotong pembicaraan lawan, argumentatif dan tidak emosional, dan fokus membuka wawasan, mencari percerahan dan kebenaran. Bukan untuk memuaskan diri sendiri dan pendukung, mencari kemenangan, menjatuhkan, mengalahkan atau memojokkan lawan debat.
Jika kita amati proses debat selama ini, baik debat capres dan cawapres, maupun forum debat-debat lainnya di televisi, baik langsung maupun secara online, sebagian debater sudah relatif bagus dan beretika. Tetapi ada pula yang cenderung emosional, irasional, phobi, apologis, apriori, menolak kebenaran fakta dan data secara membabi buta, membangun stigma dan kecurigaan, menghakimi, serta hanya ingin menang dan menggoalkan pendapat dan kemauannya sendiri. Kata-kata yang menyinggung sepertinya mudah sekali diucapkan.
Debat yang terjadi kadang juga bertendensi menghujat dan menjatuhkan. Lawan debat hampir tidak beroleh kesempatan bicara.
Kadang terpaksa dipotong atau dihentikan oleh moderator. Hal ini tentu kurang etis. Kalau dilakukan sesama muslim, kita khawatir fenomena ini terkena hadits Nabi bahwa kehebatan/kejayaan agama akan dicabut bila antartokoh dan sesama komponen masyarakat saling menghujat dan menjatuhkan. Bukan persatuan yang diperoleh, justru memperuncing perpecahan.
Pelaku debat di televisi umumnya orang dewasa dengan pilihan topik yang sudah mengena. Tetapi etika debat belum sepenuhnya ditegakkan. Kita perlu belajar kepada anak-anak SMTA atau pondok pesantren, yang terbiasa melakukan debat bahasa Inggris atau bahasa Arab. Antara kelompok Affirmative dan Negative cukup sportif, arif dan bijaksana.
Debat terbuka selama ini, di satu sisi menarik. Tapi nilai keilmuan dan kebenarannya masih kurang karena bercampur emosi dan kecurigaan. Boleh jadi karena alokasi waktu yang serba terbatas sehingga orang tergesa-gesa mengolah pikiran dan narasinya, dan orang tidak mau dipermalukan di depan umum. Sambil memperbaiki, alternatif terbaik lain tetap perlu dicari.
Agaknya debat tertulis (polemik) di media massa tetap penting. Lewat tulisan orang bisa berpikir lebih jerih, tenang, sehingga materi bahasan lebih berbobot dan bermakna.
Kita patut berharap, tradisi polemik yang sempat hidup sebelum kemerdekaan, ordelama dan ordebaru kembali dibuka oleh media massa atau media online.
Reformasi seharusnya menumbuhsuburkan polemik, karena mencerahkan dan mendewasakan. Di situ orang bisa beradu argumentasi berbasis data, fakta dan akal sehat.
Berbeda pendapat merupakan hal biasa dan wajar, dan bila dipoles dengan bijak tentu menjadi rahmat dan bermanfaat bagi banyak orang.
Agama mengajarkan, ambillah kebenaran itu dari siapapun dan dari manapun asalnya, terlepas kita suka atau tidak kepada orang yang menyuarakannya. Wallahu A’lam. (*)
| Refleksi Hari Santri Nasional, Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Pendidikan di Tengah Disrupsi Zaman |
|
|---|
| Hari Kebudayaan Nasional dan Urgensi Penguatan Budaya Digital |
|
|---|
| Menilik Perbedaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah |
|
|---|
| Dilematik Pengembalian 30.000 Artefak Indonesia dari Belanda |
|
|---|
| September Hitam: Bayang Panjang di Tengah Demokrasi |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/Ahmad-Barjie-B-Penulis-buku-Potret-Sungai-Banjar-Kalimantan-Selatan-08062023.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.