Kolom
Mengantisipasi Potensi Defisit JKN
Saat ini keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh BPJS dikhawatirkan karena hal ini
Oleh: Satrio Wahono
Sosiolog dan Magister Filsafat UI
BANJARMASINPOST.CO.ID - BANYAK warga negara pasti mengakui bahwa program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) sangat bermanfaat.
Pasalnya, program ini membantu masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan secara bebas biaya dengan iuran terjangkau. Bahkan, pemerintah pusat maupun daerah membebaskan iuran bagi masyarakat tidak mampu atau Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Ini diperkuat dengan tingkat kepuasan publik terhadap JKN yang mencapai di atas 70 persen. Hanya sayangnya, keberlanjutan JKN saat ini mengkhawatirkan.
Gara-garanya adalah peringatan dini Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Abdul Kadir mengenai potensi defisit JKN sebesar Rp 18,9 triliun pada 2024 (nasional.kontan.co.id, 13/1/2024) karena kenaikan klaim. Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Ali Mukti pun mengakui adanya potensi defisit JKN lantaran klaim yang semakin melonjak sementara iuran bergerak lebih lambat.
Maka itu, mulai ada wacana untuk menaikkan iuran JKN, kemungkinan pada 2025. Padahal, kenaikan iuran pastilah tidak populer dan menambah beban rakyat di tengah angka pertumbuhan ekonomi nasional standar 4-5 persen per tahun.
Sayangnya lagi, isu ini justru luput dibahas secara memadai dalam debat terakhir calon presiden lalu yang mengambil tema kesehatan.
Hulu Defisit
Meskipun abai dibahas tuntas, masalah keberlanjutan JKN tetap perlu diseriusi. Apalagi, JKN sebenarnya berperan penting dalam membantu pertumbuhan ekonomi alih-alih melulu dianggap sebagai beban fiskal negara.
Sebab, mengutip dr Sulastomo MPH dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (Penerbit Kompas, 2003), program jaminan kesehatan membuat masyarakat bisa merealokasikan dana dari pengeluaran kesehatan ke pengeluaran konsumtif yang akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Karena itu, penelusuran hulu potensi defisit JKN-lah yang harus pertama-tama dilakukan. Sebagai awal, kita bisa merujuk Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang JKN (Majalah Tempo, edisi 6-13 Juli 2020). KPK memetakan sejumlah faktor penyumbang defisit program JKN.
Pertama, lemahnya sistem penagihan iuran peserta oleh BPJS Kesehatan. Kedua, ada sejumlah peserta mandiri yang mulai menunggak iuran saat sudah sembuh dari sakit.
Ketiga, manfaat klaim terlalu luas sehingga memicu kenaikan biaya klaim. Keempat, dugaan fraud berupa layanan berlebihan, penetapan tipe kelas rumah sakit tidak sesuai dengan standar sehingga tarif yang dibayarkan lebih tinggi, serta klaim ganda dan fiktif fasilitas kesehatan mitra.
Kelima, lemahnya sistem verifikasi BPJS Kesehatan. Sebagai contoh, KPK menemukan adanya pasien laki-laki yang didiagnosis hamil dan melahirkan secara Caesar.
Di luar itu, penulis bisa menambahkan faktor lain. Yaitu, masih mudahnya fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) mengeluarkan surat rujukan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL) rumah sakit untuk penyakit-penyakit yang sebetulnya masih bisa diobati di FKTP.
Begitu banyaknya hulu defisit di atas menandakan permasalahan serius di bidang kesehatan masyarakat kita yang perlu dibenahi. Untuk itu, ada beberapa solusi.
Solusi
Pertama, pemerintah bisa tetap merealisasikan kenaikan iuran pada 2025 untuk sekadar menambal potensi defisit, tapi dengan besaran yang rasional dan sesuai dengan kemampuan ekonomi rakyat. Kenaikan juga jangan dilakukan di awal tahun 2025 karena momen itu berdekatan dengan momen puasa Ramadan dan Idul Fitri (akhir Februari hingga Maret 2025).
Kedua, BPJS Kesehatan harus mengaudit tindakan-tindakan medis yang diklaim kepadanya. Ini demi untuk mencegah tindakan medis tidak perlu kepada pasien.
Ketiga, pemerintah harus menyisir jumlah peserta PBI yang iurannya dibiayai penuh oleh negara. Sebab, ada sejumlah temuan di mana peserta PBI ternyata merupakan orang-orang yang cukup mampu membayar iuran.
Jika jumlah peserta PBI bisa diturunkan dari angka sekarang yang mencapai 96,761 juta dari total 267 juta peserta JKN, tentu itu akan mengurangi defisit JKN.
Keempat, rencana penghentian pelayanan publik seperti perpanjangan SIM atau STNK bagi penunggak iuran mesti mulai diimplementasikan guna memuudahkan kolektibilitas iuran peserta. Juga, BPJS Kesehatan wajib menggencarkan sosialisasi program REHAB (rencana pembayaran bertahap) kepada masyarakat yang menunggak iuran.
Kelima, BPJS Kesehatan perlu mengoptimalkan layanan promotif dan preventif di FKTP dalam rangka mengedukasi masyarakat mengenai langkah-langkah menjaga kesehatan, seperti sosialisasi gaya hidup sehat dan pemberian vitamin secara berkala. Jika masyarakat bisa menjaga kesehatan, tingkat kunjungan ke FKTP dan FKTL akan menurun sehingga mengurangi defisit.
Kelima, mengingat banyak pasien yang berobat adalah penderita penyakit degeneratif akibat rokok dan minuman ringan tinggi gula, pemerintah harus menggenjot penerimaan dari cukai rokok dan minuman ringan guna menutupi defisit JKN.
Keenam, data BPJS Kesehatan menunjukkan selama periode 2018-2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi (pernapasan) mencapai angka signifikan dan meningkat tiap tahunnya. Pneumonia (radang paru) menelan biaya sebesar Rp8,7 triliun, tuberkulosis (TBC) Rp5,2 triliun, PPOK Rp1,8 triliun, asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru Rp766 miliar. Angka-angka ini tentu akan bertambah seiring penurunan kualitas udara akibat perburukan polusi.
Ini sejalan dengan pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Agus Dwi Susanto SpP(K) pada 11 Februari 2023 yang mengingatkan bahwa polusi udara parah saat ini bisa memicu berbagai penyakit paru, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tuberculosis (TBC), asma, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
Karena itu, pemerintah dapat segera memberlakukan pajak karbon kepada industry penghasil emisi karbon dan mengalokasikan sebagian dana itu untuk membiayai JKN.
Berbekal keenam langkah di atas, negara bisa mendapatkan ruang yang lebih lapang untuk memberikan pelayanan yang bermartabat lagi bermanfaat bagi masyarakat. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.