Kolom

Makan Bergizi Gratis: Dari Piring Sekolah ke Timbulan Sampah

Saat ini makan bergizi gratis (MBG) bagi siswa sekolah dasar dan menengah menjadi kebijakan populer dan yang paling disorot

Editor: Irfani Rahman
Foto Ist
Fatimah Juhra, Dosen Teknik Lingkungan ULM 

Oleh: Fatimah Juhra

Dosen Teknik Lingkungan ULM

BANJARMASINPOST.CO.ID- PROGRAM makan bergizi gratis (MBG) bagi siswa sekolah dasar dan menengah menjadi kebijakan populer dan yang paling disorot dalam beberapa waktu terakhir. Tujuan program ini memastikan seluruh anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang cukup agar tumbuh sehat dan cerdas.

Di tengah tantangan ekonomi keluarga, program ini tentunya memberi harapan besar bahwa tidak ada lagi anak yang belajar dengan perut kosong. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul persoalan baru yang jarang dibicarakan, yaitu meningkatnya timbulan sisa makanan atau food waste.

Dalam pelaksanaan di lapangan, kebijakan ini sering kali hanya difokuskan pada aspek gizi, logistik dan distribusi, tetapi masih belum mempertimbangkan dampak lingkungan dari kegiatan penyediaan makanan massal setiap hari.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengendalian Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2024 saja tercatat bahwa sisa makanan menjadi penyumbang timbulan sampah terbesar yakni 39,36 persen, jauh melampaui timbulan sampah plastik 19,64 persen.

Tentunya timbulan sampah tersebut nantinya akan mengalami peningkatan seiring program makan bergizi gratis di tahun 2025 bila tidak disertai sistem pengelolaan limbah yang memadai.

Setiap porsi yang tidak habis dimakan, setiap nasi yang tercecer, dan setiap lauk yang terbuang akan menjadi sampah organik. Jika diakumulasi dari ribuan sekolah di seluruh Indonesia, jumlahnya sangat besar.

Menurut KLHK jika penerima manfaat mencapai 24 juta siswa pada tahun 2025 terpenuhi untuk mendapatkan MBG, dan dengan asumsi setiap siswa menghasilkan sisa makanan sekitar 50-100 gram per hari, maka potensi timbulan dapat mencapai 2.400 ton per hari atau 624.000 ton per tahun.

Di Kalimantan Selatan, sebagian besar sekolah belum memiliki fasilitas pengelolaan sampah organik seperti komposter, biopori, atau pemilahan di sumber. Sebagian besar sisa makanan masih bercampur dengan sampah plastik kemasan dan langsung dibuang ke tempat pembuangan sementara.

Akibatnya, sampah organik tersebut akhirnya berakhir di TPA, yang kini sebagian besar sudah mendekati kapasitas maksimum. Bila kondisi ini terus berlanjut, program pemerintah pusat untuk mencegah stunting anak-anak justru dapat memperpendek umur tempat pembuangan akhir di setiap kota.

Sisa makanan bukanlah sekadar sampah biasa. Dalam pandangan teknik lingkungan, sisa makanan adalah sumber pencemaran kompleks. Saat membusuk di tempat pembuangan, bahan organik akan menghasilkan gas metana—gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat dari karbondioksida dalam merangkap panas di atmosfer. Inilah yang menjadikan food waste sebagai salah satu penyumbang signifikan terhadap perubahan iklim.

Selain itu, proses pembusukan sampah yang berlangsung di kondisi anaerob juga dapat menghasilkan lindi atau cairan hitam pekat yang dapat merembes ke tanah dan mencemari tanah dan air tanah.

 Bagi kota-kota di Kalimantan Selatan yang memiliki keragaman lahan basah dan sungai, pencemaran seperti ini dapat berdampak langsung pada kualitas air dan kesehatan masyarakat.

Masalah food waste tidak hanya berhenti pada pencemaran. Ia juga mencerminkan pemborosan besar terhadap sumber daya alam. Setiap butir nasi yang terbuang sebelumnya telah melalui proses panjang: lahan yang ditanami, air yang teraliri, pupuk dan energi yang digunakan, serta tenaga petani yang dikerahkan.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved