Kolom
Makan Bergizi Gratis: Dari Piring Sekolah ke Timbulan Sampah
Saat ini makan bergizi gratis (MBG) bagi siswa sekolah dasar dan menengah menjadi kebijakan populer dan yang paling disorot
Menurut laporan FAO, sepertiga makanan dunia terbuang sia-sia setiap tahun, dan Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat food waste tertinggi di Asia. Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat makanan terbuang mencapai mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun.
Di sisi lain, muncul pula kekhawatiran mengenai keamanan makanan yang dibagikan di sekolah-sekolah. Sejumlah kasus keracunan makanan mulai dilaporkan di beberapa daerah setelah program makan gratis berjalan.
Kasus-kasus ini umumnya disebabkan oleh makanan yang disiapkan dalam jumlah besar tanpa sistem penyimpanan, pengemasan, dan distribusi yang memenuhi standar higienitas. Ini berkaitan erat dengan kurangnya pengawasan pada dapur produksi, kualitas bahan baku, serta sanitasi selama proses memasak dan penyajian.
Akibatnya, makanan yang semestinya menyehatkan justru menjadi ancaman kesehatan bagi anak-anak.
Bagi para orang tua, kasus seperti ini tentu menimbulkan dilema. Di satu sisi, program ini membantu anak-anak mereka untuk mendapatkan gizi seimbang. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran setiap kali mendengar berita keracunan di sekolah.
Jika kepercayaan publik menurun, tujuan besar kebijakan ini bisa terganggu. Ketika tidak ada solusi kongkrit, orang tua siswa kemungkinan akan melarang anaknya untuk memakan MBG di sekolah, dampaknya timbulan sampah makanan yang tak termakan tentunya akan semakin meningkat.
Meski demikian, bukan berarti program makan gratis harus dihentikan. Sebaliknya, program ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran lingkungan di kalangan siswa dan tenaga pendidik.
Sekolah bisa menjadi laboratorium kecil dalam pengelolaan food waste dengan menyediakan komposter sederhana, kebun sekolah, atau kegiatan edukatif tentang pengelolaan sampah organik.
Sisa makanan yang masih layak konsumsi bisa dimanfaatkan untuk program food bank sekolah, sementara sisanya diolah menjadi pupuk cair atau kompos. Langkah sederhana ini tidak hanya mengurangi sampah, tapi juga mengajarkan nilai tanggung jawab terhadap lingkungan.
Selain itu, pemerintah perlu menetapkan standar keamanan pangan dan pengelolaan limbah yang ketat bagi pelaksana program. Dinas pendidikan, dinas lingkungan hidup, dan dinas kesehatan harus bekerja lintas sektor untuk memastikan makanan yang disajikan aman dikonsumsi dan sisa makanan yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan.
Pada akhirnya, kebijakan makan bergizi gratis merupakan investasi besar untuk masa depan bangsa. Namun, jika tidak disertai dengan manajemen lingkungan yang baik, program ini berisiko menimbulkan masalah baru berupa peningkatan sampah makanan, pencemaran, dan emisi gas rumah kaca.
Sudah saatnya kebijakan sosial seperti ini dilengkapi dengan strategi hijau yang komprehensif—mulai dari perencanaan menu, sistem distribusi, hingga pengelolaan sisa makanan. Dengan demikian, anak-anak Indonesia tidak hanya tumbuh sehat dan cerdas, tetapi juga belajar menghargai makanan dan menjaga kelestarian bumi.
Program makan bergizi gratis harus menjadi simbol kesejahteraan yang berkelanjutan, bukan sumber pencemaran baru. Bila setiap anak diajarkan untuk menghargai sebutir nasi dan setiap sekolah mampu mengelola sampahnya dengan baik, maka cita-cita mewujudkan generasi sehat dan lingkungan lestari dapat berjalan beriringan. (*)


 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
				
			 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.