Kolom

Refleksi Sumpah Pemuda, Menggapai Angan Indonesia Emas

Setiap 28 Oktober negara kita memperingati momentum Sumpah Pemuda. Pada tahun ini, ada satu ironi yang perlu direfleksikan bersama:

Editor: Irfani Rahman
Foto Ist
M. Iqbal Khatami, MA, Muda Bicara ID 

M. Iqbal Khatami, MA

Muda Bicara ID

BANJARMASINPOST.CO.ID- SEPERTI biasa, setiap 28 Oktober negara kita memperingati momentum Sumpah Pemuda. Pada tahun ini, ada satu ironi yang perlu direfleksikan bersama: Indonesia sedang duduk di atas harta berupa potensi besar yang sangat berharga, yakni pemuda. Namun kita masih harap cemas apakah punggung pemuda bisa mengangkat bangsa yang amat besar ini menuju masa depan gemilang.

Data terbaru menunjukkan bahwa 64 dari 100 penduduk Indonesia berusia produktif. Angka ini bukan hanya statistik di atas kertas, namun adalah satu-satunya “window of opportunity” yang dimiliki Indonesia.

Bonus demografi yang diprediksi mencapai puncaknya hingga 2035 ini ibarat mesin cetak yang sedang aktif. Sayang, mesin ini berjalan, tapi belum menghasilkan secara optimal. Ada banyak faktor:  kualitas SDM, hingga kebijakan publik yang tak mampu menciptakan iklim yang mendukung.

Tantangan Lapangan Kerja

Data terbaru dari laporan Trading Ecomonics yang dirilis Kamis, 14 Agustus 2025 menyebut Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di ASEAN pada 2025. Angka ini dibuktikan dengan tingkat pengangguran di Indonesia yang mencapai 4,76 persen pada periode Maret 2025.

Artinya, dari 44,26 juta pemuda Indonesia, sekitar 2,1 juta tidak memiliki pekerjaan. Tentu saja ini bukan hanya angka, namun juga dapat menjadi alasan mengapa bonus demografi bisa menjadi ancaman jika tidak disikapi dengan cepat.

Masalahnya adalah lapangan kerja. Dalam dekade terakhir, Indonesia memang menciptakan 18 juta lapangan kerja baru. Angka itu besar, tapi ketika kita lihat detailnya, 80 persen berasal dari sektor rumah tangga seperti pedagang kaki lima, buruh harian, pekerja rumahan. Banyak yang tidak memiliki jaminan sosial, tidak ada kepastian, dan yang paling tragis: masih banyak upah di bawah rata-rata.

Overthinking Epidemic

Selain masalah pengangguran, ada fenomena unik yang melanda pemuda Indonesia saat ini: overthinking epidemic. Mereka terpaku pada layar, mengonsumsi jutaan konten per hari, tetapi tubuh mereka tetap diam. Otak bekerja lembur, tapi minim aksi nyata.

Banyak pemuda yang akhirnya menghabiskan energi untuk khawatir tentang masa depan, ribuan konten tentang “cara sukses,” “tips produksi,” “mindset jutawan,” tetapi sedikit sekali yang terkoneksi dengan realitas lapangan kerja yang sesungguhnya.

Di sisi lain, memang kondisi saat ini menunjukkan bahwa kesehatan mental menjadi penghalang serius. Survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja, atau sekitar 15,5 juta pemuda memiliki masalah kesehatan mental. Banyak dari mereka memilih diam, menumpuk kekhawatiran di dalam, sampai akhirnya menjadi kelumpuhan mental yang nyata.

Tantangan Struktural

Selain dua tantangan utama tadi, juga terdapat tantangan struktural yang perlu menjadi refleksi bersama di momentum sumpah pemuda tahun ini. Pertama, ketimpangan akses pendidikan. Hanya 11,25 persen pemuda Indonesia yang menyelesaikan perguruan tinggi. Sementara itu, 36 persen pekerja muda hanya tamatan SD atau SMP. Ketika sektor manufaktur modern membutuhkan keterampilan teknis yang tinggi, sebagian besar pemuda kita tidak punya fondasi untuk mencapainya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aneh Tapi Waras

 

Politik Bansos

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved