Kolom
Refleksi Sumpah Pemuda, Menggapai Angan Indonesia Emas
Setiap 28 Oktober negara kita memperingati momentum Sumpah Pemuda. Pada tahun ini, ada satu ironi yang perlu direfleksikan bersama:
Kedua, literasi digital yang rendah. Hanya 19 persen tenaga kerja Indonesia yang memiliki keterampilan digital memadai. Padahal, kita sudah masuk di Era Industri 4.0 dan 5.0. Pemuda yang tidak fasih teknologi akan tersisihkan dalam dekade ini.
Ketiga, ada 25 persen pemuda Indonesia yang termasuk kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training). Mereka tidak bekerja, tidak sekolah, dan tidak mengikuti pelatihan. Ini adalah generasi yang hilang, terutama perempuan muda yang dipaksa memilih antara rumah tangga atau karir.
Keempat, ketergantungan pada lapangan kerja informal tanpa perlindungan sosial menciptakan siklus kemiskinan baru. Pemuda bekerja 48 jam per minggu, tetapi gajinya masih di bawah upah minimum. Kerja keras tidak lagi menjamin hidup yang layak.
Gerak Nyata
Refleksi utama hari ini adalah pemuda Indonesia perlu melakukan transisi fundamental. Dari apa yang biasa dilakukan menjadi apa yang perlu dilakukan.
Misalnya, dibanding sebatas sebagai konsumen konten bergeser menjadi kreator solusi. Jika pemuda tidak membuat startup, inovasi, dan model bisnis baru, maka Indonesia akan tetap menjadi negara konsumen. Negara yang mengimpor ide, mengimpor teknologi, dan terus mengimpor nilai budaya.
Kompetisi individual juga perlu digeser menjadi kolaborasi strategis. Paradigma “winner takes all” perlu disingkirkan. Kita perlu belajar berkolaborasi dan bekerja dalam ekosistem, membangun jaringan, menciptakan sinergi dengan pemuda lain di bidang yang berbeda.
Tantangan lainnya adalah bagaimana kita menghadirkan jalan keluar, termasuk dalam aspek kebijakan politik. Sistem yang tidak adil harus dikritik. Tapi kritik tanpa solusi hanya menghasilkan frustrasi. Partisipasi pemuda mendorong perbaikan kebijakan juga merupakan solusi, maka pemuda hari ini harus mengerti kebijakan dan kritis atas kebijakan yang hadir. Lebih baik lagi jika kita mampu mengambil inisiatif untuk menciptakan perubahan di level lokal, komunitas, dan organisasi.
Kita juga perlu sadar, memang ada krisis kesehatan mental di kalangan pemuda. Ini real. Pemerintah perlu membuat akses ke layanan kesehatan mental lebih terjangkau dan tidak tabu. Sekolah dan universitas harus memiliki konselor yang kompeten. Stigma harus dirobohkan melalui edukasi, bukan propaganda kosong.
Tapi kita juga harus jujur: tidak semua beban bisa dipikul pemuda. Ada bagian yang menjadi tanggung jawab sistem, pemerintah, dan dunia usaha.
Narasi “Indonesia Emas 2045” selama ini hanya membebani pemuda. Seolah-olah kesuksesannya adalah tanggung jawab generasi muda saja. Padahal, pilar utamanya adalah kebijakan publik yang pro-pemuda dan pro-lapangan kerja berkualitas. Maka dalam hal ini negara perlu hadir menyediakan perlindungan sosial dan jaminan masa depan yang memadai untuk pemuda, melalui kebijakan publik yang baik.
Kita membutuhkan sistem dan kebijakan publik yang berpihak pada pemuda. Sistem yang memberikan kepastian, peluang, dan masa depan yang cerah. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.