Kolom
Menunggu Undang-Undang Perampasan Aset
Presiden Prabowo meminta DPR segera membahas RUU Perampasan Aset yang sudah diajukan tahun 2023 di masa pemerintahan Joko Widodo.
Oleh : Helmi
Pemerhati hukum, alumnus Program Doktor Ilmu Hukum FH UNAIR.
BANJARMASINPOST.CO.ID-UNTUK kesekian kalinya Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset didesak agar secepatnya disahkan. Paling akhir disuarakan oleh pendemo baik di Jakarta maupun di daerah-daerah, melalui 17 + 8 tuntutan rakyat, yang salah satu isinya adalah agar disahkan RUU Perampasan Aset. Bahkan Presiden Prabowo pun meminta DPR segera membahas RUU Perampasan Aset yang sudah diajukan tahun 2023 di masa pemerintahan Joko Widodo.
Tak pelak lagi, perampasan aset menjadi salah satu isu nasional yang paling hangat. Perampasan aset sebagaimana termuat dalam RUU Perampasan, merupakan konsep yang benar-benar baru, sangat berbeda dengan konsep perampasan aset yang sudah biasa diterapkan oleh pengadilan di Indonesia.
Konsep perampasan aset bersumber dari StaR (Stolen Aset Recovery), yang disponsori oleh Word Bank, yang kemudian di breakdown ke dalam RUU Perampasan. Sehingga apabila tidak membaca isi RUU Perampasan Aset, berpotensi menimbulkan pendapat dan pemahaman yang keliru. Bahkan lebih ekstrem lagi, konsep perampasan aset dikait-kaitkan dengan paham komunis (negara merampas kekayaan warga negara karena memiliki kekayaan diluar batas).
Perampasan aset dapat dilihat dalam dua perspektif yaitu perampasan aset sebagai pidana tambahan (criminal forfeiture) atau in personam, yang diputus melalui peradilan pidana, yang mana dalam salah satu diktum (amar) putusan pengadilan dinyatakan aset (barang) hasil dari suatu tindak pidana dinyatakan “dirampas” untuk negara.
Perampasan aset yang demikian hanya bisa dilakukan apabila dalam putusan pengadilan dinyatakan bahwa dakwaan secara sah dan meyakinkan terbukti. Perampasan aset melalui jalur pidana merupakan proses yang bersifat in personam, yang ditujukan terhadap pelaku kejahatan.
Sebaliknya apabila dalam putusan dinyatakan dakwaan secara sah dan meyakinkan tidak terbukti, maka dipastikan tidak ada perampasan aset hasil tindak pidana. Selanjutnya adalah perampasan aset tanpa adanya pemidanaan (civil forfeiture/ non contivtion based asset forfeiture/NCB AF) atau perampasan aset in rem.
Perampasan aset tanpa adanya pemidanaan (civil forfeiture/non conviction based asset forfeiture) dapat dilakukakan karena peradilan pidana atas perkara yang bersangkutan tidak dapat dilaksanakan. disebabkan antara lain karena tersangka/terdakwa meninggal dunia, tidak diketahuinya si pelaku akan tetapi ditemukan aset yang diduga berasal dari tindak pidana, dan pelaku menderita penyakit yang permanen.
Peradilan pidana terhadap kasus ini tidak dilakukan karena sebab-sebab tersebut, maka sebagai suatu “terobosan hukum” dilakukan upaya “perampasan aset” melalui mekanisme hukum tertentu, yang tidak ditempuh melalui peradilan perdata maupun pidana.
Mekanisme peradilannya lebih mendekati ke peradilan perdata yang dimodifikasi. Perampasan melalui jalur keperdataan bersifat in rem, yaitu ditujukan langsung terhadap aset, karena itu disebut pula sebagai Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB AF), merupakan alternatif yang ditempuh negara dan penegak hukum untuk tetap dapat menarik aset, dalam hal penuntutan pidana terhadap pelaku menjadi tidak efektif.
Dasar yuridis perampasan aset in rem ini terdapat dalam Bab V Pasal 51 United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003, yang telah diratifikasi Indonesia tahun 2006 melalui UU No7 Tahun 2006. Pasal 51 menyebutkan,” The return of assets persuant to this chapter is a fundamental principle of this Convention, and States shall afford one another the widest measure of cooperation and assitence in this regard”.
Artinya, pengembalian aset-aset menurut bab ini merupakan suatu prinsip mendasar dari Konvensi ini, dan negara-negara peserta wajib saling memberikan kerja sama dan bantuan yang seluas-luasnya mengenai hal ini.
Untuk menindak lanjuti dari usaha asset recovery (pengembalian aset) ini, World Bank pada tahun 2007 meluncurkan program yang disebut Stolen Assets Recovery (StaR) Inisiative. Program ini merupakan respons internasional untuk mempromosikan implimentasi UNCAC, sehingga diharapkan dapat tercapai kesatuan langkah antara negara-negara khususnya dalam kerjasama di bidang pemulihan aset hasil kejahatan.
Sistem dan mekanisme Non Conviction Based Asset Forfeiture dapat diringkas sebagai berikut : (1) Telah terjadi suatu tindak pidana yang menghasilkan aset; (2) Pelaku tidak/belum dapat diadili menurut sistem peradilan pidana dikarenakan antara lain: pelaku telah melarikan diri, pelaku tidak dikenal, pelaku telah meninggal dunia, pelaku menderita sakit permanen, atau seorang pejabat publik yang memiliki kekayaan melebihi penghasilan yang sah (illicit enrichment); (3) Sistem peradilan yang digunakan bukan sistem peradilan pidana maupun sistem peradilan perdata, tetapi sistem peradilan yang dibuat sedemikian rupa dengan mekanisme yang telah ditetapkan, yaitu tahap pelacakan, pemblokiran, penyitaan, permohonan perampasan aset ke pengadilan negeri; (4) Pelacakan aset dilakukan oleh penyidik, yang dilanjutkan dengan pemblokiran aset; (5) Jaksa dengan bukti permulaan yang cukup yang telah ditemukan penyidik, mengajukan permohonan perampasan aset kepada pengadilan negeri di mana aset itu berada; (6) Sebelum memeriksa permohonan perampasan aset tersebut, pengadilan mengumumkan permohonan perampasan aset dalam waktu tertentu di kantor pengadilan untuk memberikan kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa berhak atas aset tersebut mengajukan klaim keberatan; (7) Putusan pengadilan dalam diktumnya putusannya dapat menyatakan mengabulkan permohonan atau menolak permohonan, berdasarkan penilaian atas bukti yang diajukan oleh Jaksa dan/atau pihak ketiga yang merasa berhak atas aset tersebut; (8) Putusan pengadilan negeri bersifat final dan binding, yaitu putusan yang tidak ada upaya hukumnya lagi dan mengikat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.