Berita Banjarbaru

Imbas Putusan MK, Masa Jabatan Gubernur-Wagub Kalsel Bertambah

Adanya putusan baru Mahkamah Konstitusi (MK) membuat masa jabatan Gubernur Kalsel Sahbirin Noor danwakilnya Muhidin jadi lebih panjang

Foto Ist Biro Adpim Pemprov Kalsel
Gubernur Kalsel, Sahbirin Noor berbincang dengan Wakil Gubernur Kalsel, Muhidin (kanan) pada puncak peringatan hari jadi ke 73 Provinsi Kalsel, Selasa (15/8/2023). 

BANJARMASINPOST.CO.IS, BANJARBARU - Masa jabatana Gubernur - Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor dan Muhidin bakal lebih lama.

Hal tersebut menyusul adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020 menjabat hingga dilantiknya kepala daerah hasil Pilkada 2024.

Jika semula masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 berakhir pada 31 Desember 2024. Dalam ketentuan terbaru, menjadi berhenti saat kepala daerah baru hasil Pilkada serentak 2024 dilantik.

“Mengingat yang digugat adalah undang-undang, sehingga pada bagian gugatan yang dikabulkan akan berlaku universal dan akan berdampak terhadap masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalsel,” kata Kepala Biro Pemerintah dan Otonomi Daerah Setdaprov Kalsel, Taufik Hidayat, Kamis (21/3/2024).

Putusan MK membuat gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di 270 daerah akan menjabat lebih lama hingga beberapa bulan, termasuk Kalsel.

Ketentuan itu hanya berlaku bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya tidak melewati lima tahun.

MK mengambil putusan ini karena memaksimalkan masa jabatan kepala daerah tanpa mengganggu penyelenggaraan pilkada serentak adalah wujud keseimbangan hak konstitusional para kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Baca juga: Melihat Peluang Dinasti Politik Sejumlah Pejabat di Kalsel pada Pemilu 2024

Baca juga: Tajerian Noor Siap Dampingi Muhidin di Pilkada Kalsel 2024

Tak hanya itu, langkah tersebut juga memberikan kepastian hukum atas terselenggaranya pilkada serentak.

”Di samping itu, menjadikan waktu pelantikan sebagai batas masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020 dapat mendekatkan dan sekaligus mewujudkan ketentuan Pasal 162 Ayat (1) dan (2) UU 10/2016,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan, Rabu (20/3/2024).

Pasal 201 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyatakan, kepala daerah hasil Pilkada 2020 menjabat hingga tahun 2024.

Sementara Pasal 162 Ayat (1) dan (2) UU yang sama mengatur, kepala daerah menjabat selama lima tahun.

MK menolak permohonan 11 kepala daerah yang meminta pelaksanaan pilkada serentak dibagi dua, yaitu November 2024 untuk kepala daerah hasil pemilihan sebelum 2020 dan April 2025 untuk kepala daerah hasil pemilihan tahun 2020.

Sebab, menurut MK, pembagian penyelenggaraan pilkada itu justru akan menghilangkan keserentakan yang telah dirancang oleh pembentuk undang-undang.

Apalagi, untuk melaksanakan pilkada serentak secara nasional tersebut, pembentuk undang-undang sudah menyusun desain penyelenggaraan transisi dengan menyelenggarakan pilkada serentak dalam beberapa gelombang mulai tahun 2015, 2017, 2018, 2020, lalu November 2024.

Permohonan pilkada digelar dalam dua tahap tersebut diajukan oleh Gubernur Jambi Al Haris, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi, Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal, Bupati Malaka Simon Nahak, Bupati Kebumen Arif Sugiyanto, Bupati Malang Sanusi, Bupati Nunukan Asmin Laura, Bupati Rokan Hulu Sukiman, Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto, Wali Kota Bontang Basri Rase, dan Wali Kota Bukittinggi Erman Safar. Mereka didampingi oleh kuasa hukumnya, Febri Diansyah dkk dari Visi Law Office.

Dalam pertimbangan saat MK menolak mengubah jadwal pilkada, Saldi menyebut kembali putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang menegaskan pandangan MK bahwa pelaksanaan pilkada serentak harus mengikuti ketentuan Pasal 201 Ayat (8) UU Pilkada, yaitu bulan November 2024.

Walaupun hal ini tidak dicantumkan di dalam amar putusan, melalui putusan tersebut MK penting menegaskan bahwa pertimbangan hukum MK punya kekuatan hukum mengikat.

Sebab, pertimbangan hukum merupakan ratio decidendi dari putusan secara keseluruhan.
Namun, MK mengabulkan permohonan kepala daerah-kepala daerah itu terkait dengan Pasal 201 Ayat (7) UU No 10/2016, tidak harus berhenti pada akhir 2024.

MK menyatakan, pasal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum, bertentangan dengan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta melanggar prinsip pemilihan dan prinsip demokrasi yang dijamin dengan UUD 1945.

MK juga menyatakan mampu memahami keinginan para pemohon yang ingin memaksimalkan masa jabatannya hingga pelantikan kepala daerah baru hasil Pilkada 2024.

(Banjarmasinpost.co.id/Muhammad Syaiful Riki)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved