Jendela

Mendaki Kebahagiaan

Sebagai santri terpelajar yang mendalami ilmu keislaman sampai ke Mesir hingga mencapai doktor, dia adalah sedikit dari generasi muda yang kepadanya

Editor: Edi Nugroho
istimewa
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari, Mujiburrahman. 

Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin

LAMA tak bersua, saya berbincang dengan seorang kawan lama dan berbagi cerita.

Sebagai santri terpelajar yang mendalami ilmu keislaman sampai ke Mesir hingga mencapai doktor, dia adalah sedikit dari generasi muda yang kepadanya saya menaruh harapan.

Setelah mengungkapkan berbagai kegelisahan, dia berkata, “Kalau di kota tertentu atau kampung tertentu, masih mungkin ada orang miskin yang terhormat. Kalau di kota metropolitan, itu sudah tak ada,” katanya.

Mengapa dia mengatakan kalimat itu? Dia menilai, kini masyarakat kita semakin materialistis, lebih-lebih di kota besar.

Baca juga: Konflik Kepentingan di Tubuh Pemerintah

Baca juga: Sebagian Wilayah Desa Batutungku Tanahlaut Susah Sinyal, Aktivitas Warga Hingga Rapat Jadi Terganggu

Hal ini merata dari orang biasa hingga tokoh-tokoh publik, termasuk yang disebut ulama dan cendekiawan.

Orang sudah enggan hidup asketis, yang dalam istilah santri disebut zuhud dan wara’. Zuhud artinya hidup sederhana secara sukarela, bukan terpaksa.

Wara’ artinya mampu menjaga diri dari pendapatan yang haram dan syubhat (samar antara haram dan halal).

Akibat lanjutan dari gaya hidup seperti itu adalah mau menghambakan diri kepada siapa pun yang memberikan kesejahteraan ekonomi, entah dia penguasa, orang kaya, atau kedua-duanya.
Nilai-nilai moral dan spiritual sudah tidak lagi dihiraukan kecuali sekadar pemanis bibir.

Orang tidak lagi merasa segan berperilaku munafik: lain di kata, lain di perbuatan. Ilmu kalah dengan harta.

Kebijaksanaan hidup kalah dengan keserakahan. Hati yang luas kalah dengan benda yang terbatas.

Saya menarik nafas dalam-dalam, sambil mendengarkan keluhannya. Hidup memang semakin berat.

Kebutuhan manusia terus meningkat, apalagi keinginan-keinginannya yang nyaris tak terbatas.

Hidup tidak cukup hanya makan-minum dan tempat tinggal. Anak perlu biaya sekolah dan kuliah.

Kalau sakit, harus berobat. Listrik, air bersih, gas, bahkan ponsel sudah menjadi kebutuhan dasar.

Mau bepergian, harus pakai kendaraan, baik milik pribadi atau transportasi umum. Semua perlu duit!

Itulah manusia modern. Kebutuhannya banyak. Lebih dari itu, makin sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Berlibur dan berekreasi, di daerah sendiri, luar provinsi hingga luar negeri, apakah termasuk kebutuhan atau keinginan?

Makan-makan di luar rumah, entah di warung kaki lima atau restoran, juga makin menjadi kebiasaan.

Kalau lebaran, orang-orang ramai mudik, pulang kampung, yang tidak hanya menuntut biaya transportasi, melainkan juga membagi rezeki.

Anda tentu masih bisa menderetkan rupa-rupa kebutuhan/keinginan manusia modern yang tak ada habis-habisnya.

Dalam kondisi hidup yang demikian, bukankah wajar jika orang berjuang sekuat tenaga untuk bisa hidup layak dan sejahtera sesuai ukuran zaman sekarang?

Ya, tentu saja. Apa yang dulu bukan kebutuhan, sekarang menjadi kebutuhan.

Kiranya tak ada orang yang ingin hidup sengsara dan menderita. Semua orang ingin hidup nyaman dan sejahtera.

Yang menjadi masalah sesungguhnya adalah sifat manusia yang tamak dan rakus. Keserakahan tak bisa dipuaskan.

Kata sebuah hadis, orang serakah itu, jika dapat satu lembah emas, ingin satu lembah lagi, dan begitu seterusnya sampai mati.

Sementara itu, di sekitar kita, godaan dan rayuan untuk memiliki dan mengonsumsi sebanyak-banyaknya itu tak pernah berhenti.

Bahkan, kita yang tidak punya uang pun didorong untuk berhutang. Ada banyak tawaran kredit yang meggiurkan.

Lama-lama, kita menghargai manusia bukan karena kebaikan hatinya dan perbuatannya, melainkan karena apa yang dimilikinya.

Semakin banyak harta yang dimiliki seseorang, semakin mulialah dia di mata kita, meskipun akhlaknya bobrok dan harta itu didapatkan dengan cara yang tidak halal.

Lebih buruk lagi, ulama dan cendekiawan yang tampak miskin-sederhana justru kurang dihargai bahkan direndahkan.

Seolah kesalehan yang asketis itu sudah tak punya tempat di zaman ini.

Jika demikian, maka jelas ada sesuatu yang perlahan terkikis dalam kehidupan publik kita, yaitu nilai-nilai moral dan spiritual.

Kita mulai kurang menghargai yang baik dan benar. Kita mulai meremehkan pengabdian dan kerelaan manusia untuk berkorban.

Kita sudah sulit menghayati pekerjaan sebagai panggilan hidup, bukan sekadar mencari uang. Kita pun kehilangan para pahlawan kemanusiaan yang menjadi idola.

Yang tersisa adalah pemujaan kepada yang punya kuasa dan harta belaka.

“Sudah seburuk itukah?” tanyaku pada kawan tadi. “Mungkin tidak. Masih ada bahkan mungkin banyak orang yang tulus dalam bebuat baik dan suka berkorban untuk orang banyak.

Masalahnya adalah, sekarang ini mereka semakin kurang ditampilkan dan tersisih ke pinggiran. Mereka tidak lagi dijadikan idola publik.

Yang jadi idola malah tokoh-tokoh sebaliknya,” katanya. Artinya, budaya yang dominan saat ini adalah memuja tokoh yang kaya dan suka tampil mewah.

Usai perbincangan itu, saya termenung. Manusia memang harus “selesai” dengan dirinya sendiri jika ingin merdeka lahir-batin.

Untuk itu, paling tidak dia harus melakukan tiga hal.

Pertama, mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup diri dan keluarganya dengan penghasilan yang halal.

Kedua, berusaha membatasi keinginan-keinginannya di luar kebutuhan dasar agar tidak serakah dan tidak besar pasak daripada tiang. Ketiga, hidup dengan sikap penuh syukur, sabar, tawakkal dan rida.

Yang terakhir itulah yang paling bermakna. Syukur artinya berterimakasih atas nikmat Allah, sekecil apapun.

Sabar artinya menerima dengan tabah kala ditimpa musibah. Tawakkal artinya berserah diri pada Yang Kuasa.

Reda artinya rela dengan apapun ketentuan Tuhan. Semua sikap batin ini mudah dijelaskan, tetapi berat diamalkan.

Namun, justru di situlah letak kebahagiaan hidup manusia. Bahagia itu perlu perjuangan. Ia laksana mendaki gunung, bukan berjalan di tanah datar. (*)

 

Syukur artinya berterimakasih atas nikmat Allah, sekecil apapun. Sabar artinya menerima dengan tabah kala ditimpa musibah.Tawakkal artinya berserah diri pada Yang Kuasa. Reda artinya rela dengan apapun ketentuan Tuhan.Semua sikap batin ini mudah dijelaskan, tetapi berat diamalkan. Namun, justru di situlah letak kebahagiaan hidup manusia. Bahagia itu perlu perjuangan

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Akhir Bahagia

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved