Tajuk
Sentimen Negatif Mulai Menumpuk
Saat ini telah memasukio dua bulan masa awal transisi kekuasaan oleh pemerintahan baru, beberapa kebijakan tak menonjol di masyarakat,
BANJARMASINPOST.CO.ID - SUDAH dua bulan pemerintahan baru memegang kendali atas kehidupan 277 juta lebih masyarakat Indonesia. Namun di masa awal transisi kekuasaan ini, topik terkait target atau capaian 100 hari pertama pemerintahan baru tak menonjol di kalangan masyarakat.
Justru sederet sentimen negatif satu demi satu mulai menumpuk di benak masyarakat.
Sebut saja persoalan jumlah pekerja korban PHK yang makin menggunung.
Sepanjang 2024, tercatat 80 ribu lebih pekerja di berbagai sektor di-PHK termasuk 937 di antaranya di Kalimantan Selatan (Kalsel).
Ini adalah data yang diungkap sendiri oleh Wakil Menteri Tenaga Kerja, Emmanuel Ebenezer.
Secara umum fenomena ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah membuka keran impor produk jadi yang menggerus daya saing industri lokal.
Ada pula kasus-kasus menonjol yang mengungkap sifat nir etika dari oknum-oknum aparat negara yang seolah silih berganti jadi pemberitaan rutin di media massa. Belum lagi persoalan kenaikan tarif pajak yang benar-benar berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sehari-hari.
Selain kenaikan PPN menjadi 12 persen, ada juga pengenaan tarif pajak baru yakni Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) mulai tahun depan. Mengacu pada Pasal 83 UU 1 tahun 2022, nilai tarif Opsen PKB yang dikenakan tak main-main yakni 66 persen dari nilai PKB.
Ini juga akan menambah beban para wajib pajak pemilik kendaraan bermotor tiap tahunnya.
Padahal diketahui, kondisi ekonomi secara global maupun di Indonesia tak bisa dikatakan bergairah.
Tak heran jika saat ini masyarakat merasa semakin terimpit. Di tengah kondisi mencekik ini, ada satu kejadian yang makin memperparah kegundahan masyarakat.
Itu adalah vonis terhadap salah satu terdakwa kasus korupsi timah, Harvey Moeis yang juga suami artis Sandra Dewi. Meski terlibat korupsi yang merugikan negara Rp 300 triliun, ia hanya dituntut 12 tahun penjara dan bahkan hanya divonis 6,5 tahun penjara oleh hakim.
Masyarakat dibuat heran dan seolah kehilangan perspektif akan seberapa besar angka kerugian Rp 300 triliun yang jadi akar persoalan kasus tersebut.
Tentu atas berbagai persoalan ini, tak bisa pula pemerintahan baru dijadikan satu-satunya pihak yang dipersalahkan karena ada pula peran dari kebijakan pemerintahan terdahulu.
Walau begitu kini tinggal menanti bagaimana langkah pemerintahan baru membenahi persoalan-persoalan tersebut. Jangan sampai janji-janji manis yang diobral selama pesta demokrasi semakin berubah jadi isapan jempol belaka. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.