Serambi Ummah
Makan Balut Halal atau Haram? Ulama: Tergolong Bangkai karena Tak Disembelih
pro kontra soal halal atau haramnya makan balut, berikut penjelasan Dosen Darussalam Martapura Muhammad Syafiq SHI MH
Penulis: Rizki Fadillah | Editor: Rahmadhani
BANJARMASINPOST.CO.ID - Heboh tren makan balut di media sosial. Seorang influencer Tanah Air juga sempat mereview soal balut, meskipun tidak sampai memakannya karena jijik. Tapi hal ini menuai pro kontra soal halal atau haramnya makan balut.
Balut adalah telur bebek atau ayam yang telah dibuahi dan dierami selama beberapa hari, hingga embrio mulai terbentuk, Kemudian balut direbus dan dimakan. Makanan ini khas dari Filipina.
Balut direbus dalam keadaan telur masih utuh dan hewan di dalamnya belum disembelih.
Dosen Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Martapura Muhammad Syafiq SHI MH menjelaskan, terkait fenomena dan hukum makan balut dalam Islam.
Menurut Muhammad Syafiq, fenomena viral konsumsi balut di media sosial memerlukan respons yang seimbang antara pemahaman realitas sosial dan ketegasan dalam prinsip syariat.
Baca juga: Tanggungjawab Menikahi Janda atau Duda: Anak Tiri Juga Berhak Dapat Perhatian, Wajib Berlaku Adil
Baca juga: Perjalanan Ustadz Zainul Abidin di Tanahlaut, dari Pinjam Musala TK hingga Bangun Pondok Gratis
“Sebagai akademisi hukum Islam, saya melihat, tren ini mencerminkan bagaimana globalisasi kuliner dapat dengan cepat menyebar melalui platform digital, namun popularitas suatu makanan tidak secara otomatis menjadikannya halal bagi konsumsi Muslim,” ujarnya.
Dari perspektif sosiologis, dia menjelaskan, fenomena ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan literasi hukum Islam di kalangan masyarakat Muslim.
“Kita perlu membedakan secara tegas antara fenomena budaya dengan ketentuan syariat yang bersifat normatif dan mengikat,” katanya.

Dalam konteks embriologi modern, balut yang dikonsumsi umumnya merupakan telur yang telah diinkubasi selama 14-21 hari. Pada stadium ini, menurut penelitian ilmiah, embrio telah memiliki sistem kardiovaskular yang berfungsi, sistem saraf yang berkembang, serta kemampuan merespons rangsangan eksternal.
Dijelaskannya, indikator-indikator biologis ini menjadi sangat relevan dalam penentuan hukum syariat, karena para ulama klasik menjadikan tanda-tanda kehidupan tersebut sebagai parameter penting dalam klasifikasi hukum.
“Sikap yang perlu diambil adalah memberikan edukasi yang jelas kepada masyarakat, konsumsi balut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip syariat Islam, sambil tetap menghormati keberagaman budaya tanpa mengorbankan kemurnian ajaran agama,” katanya.
Berdasarkan kajian mendalam yang telah dilakukan terhadap nash-nash Al-Qur’an, hadis-hadis sahih, pendapat para ulama mujtahid dari berbagai madzhab, serta penerapan metodologi ushul fiqh yang sistematis dan komprehensif, diakuinya, hasil analisis ini menunjukkan, hukum konsumsi balut adalah haram secara qath’i atau pasti.
Penetapan hukum pengharaman ini dibangun atas beberapa landasan fundamental yang saling menguatkan secara metodologis. Pertama, dari perspektif Al-Qur’an, firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 3 tegas dan eksplisit menyatakan “Diharamkan bagimu bangkai.”
“Ayat ini bersifat umum (‘am) dan mencakup segala bentuk bangkai tanpa pengecualian, termasuk embrio balut yang mati karena direbus tanpa melalui prosedur penyembelihan syariat yang sah,” katanya.
Kedua, prinsip hadis dengan tegas menegaskan kewajiban penyembelihan yang baik (ihsan) untuk setiap hewan yang hendak dikonsumsi. Hadis riwayat Muslim yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu menekankan, “Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan dalam segala hal dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan baik.”
Ketiga, ijma’ ulama dari seluruh madzhab telah menetapkan secara konsisten, setiap hewan yang halal dagingnya tidak boleh dikonsumsi kecuali melalui penyembelihan syariat yang sah dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan.
Keempat, melalui qiyas sahih yang memenuhi seluruh rukun dan syarat, embrio balut dapat dianalogikan kepada bangkai hewan dewasa dengan ‘illat atau alasan hukum yang identik, yaitu mati tanpa penyembelihan syariat.
Berdasarkan kajian mendalam, dipaparkannya, seorang muslim dalam memilih makanan harus berpedoman pada prinsip-prinsip syariat yang telah mapan dengan landasan dalil yang kuat.
Kesimpulannya, integrasi antara pemahaman mendalam terhadap nash-nash syariat, pemanfaatan optimal instrumen sertifikasi resmi dan penerapan kehati-hatian maksimal akan mengantarkan Muslim pada pola konsumsi yang berkah dan diberkahi Allah Subhannahu Wa Ta’ala.
Denga begitu, terdapat beberapa faktor fundamental yang membuat balut menjadi kontroversial dalam perspekti hukum Islam.
Pertama, ambiguitas status biologis embrio. Balut berada dalam zona transisional antara telur konsumsi biasa dan hewan. Embrio dalam balut sudah mengalami perkembangan morfologis yang signifikan dengan organ-organ yang mulai berfungsi, namun belum sepenuhnya menjadi hewan dewasa. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan teologis yang kompleks tentang kapan tepatnya embrio dianggap “bernyawa” dalam konteks hukum Islam.
Kedua, ketiadaan proses penyembelihan syariat. Karena embrio dalam telur balut telah berkembang menjadi bentuk hewan yang hampir sempurna, memakannya dianggap sama dengan mengonsumsi bangkai. Balut digolongkan sebagai bangkai karena unggas yang ada di dalamnya tidak disembelih sesuai syariat Islam. Prinsip fundamental dalam hukum Islam mengharuskan setiap hewan yang dikonsumsi harus melalui proses penyembelihan dengan menyebut nama Allah.
Ketiga, tidak adanya nash eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadits. Balut tidak dikenal di zaman Rasulullah, sehingga penetapan hukumnya bergantung pada ijtihad ulama kontemporer melalui analogi (qiyas) terhadap prinsip-prinsip hukum yang sudah established, khususnya tentang bangkai dan tata cara penyembelihan.
Keempat, variasi interpretasi ulama. Sebagian ulama menerapkan pendekatan gradualistik berdasarkan tingkat perkembangan embrio, sementara ulama lain menerapkan prinsip kehati-hatian (ihtiyat) dengan mengharamkan secara absolut untuk menghindari syubhat.
Tak Perlu Menghakimi
WARGA Martapura, Siti Miftahur Rohmah, mengetahui jika Balut adalah makanan khas dari Thailand dan Filipina yang terbuat dari telur itik atau ayam yang sudah dibuahi dan dierami sampai embrionya terbentuk, kemudian direbus dan dimakan.
Miftah mengutip ayat Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 173, yang artinya “Allah telah mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan karena Allah”. Dan menurutnya, pada hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Allah juga menegaskan, agar tidak memakan hewan yang mati tanpa disembelih. “Kedua dalil ini menjadi landasan, hewan yang mati tanpa disembelih dengan cara syar`i, termasuk bangkai, adalah haram untuk dimakan,” ujar lulusan S2 Hukum Keluarga UIN Antasari ini.
Menurut Miftah, embrio dalam telur yang sudah membentuk tubuh hewan (sebagian ataupun hampir sempurna), menjadikan ia termasuk hewan yang wajib disembelih. Sedangkan proses pengolahan balut adalah embrio direbus hidup-hidup dalam cangkangnya tanpa ada penyembelihan. Hal Ini menjadikan statusnya haram.
Dikatakan Miftah, dalam kitab Nihyatuz-Zayn f Irsydil-Mubtadi’n karangan Syekh Nawawi al-Bantan, beliau menuliskan: ”Jika seseorang memecahkan telur dari hewan yang halal dimakan, lalu mendapati di dalamnya embrio anak ayam yang belum sempurna penciptaannya atau sudah sempurna tapi belum ditiupkan ruh, maka boleh dimakan. “Berbeda halnya jika sudah ditiupkan ruh dan anak tersebut mati tanpa disembelih secara syar’i, maka ia menjadi bangkai (tidak boleh dimakan),” katanya.
Adapun jika telur berasal dari hewan yang tidak halal dimakan, lalu didapati di dalamnya hewan (embrio) yang sudah sempurna ataupun belum sempurna penciptaannya, maka hewan itu tidak boleh dimakan.
Mengenai balut yang berasal dari ayam atau itik, embrio telah ditiupkan ruh dan wujudnya hampir atau sudah sempurna, sehingga jelas keharamannya karena tidak dapat disembelih dan menjadikannya sebagai bangkai.
“Mengenai tren memakan balut yang berkembang di masyarakat, guru-guru kami di Al-Azhar dan ulama-ulama di Indonesia sering menasihati kami untuk bersikap wasathiyah (ada di pertengahan dan menjadi pihak yang mendamaikan) dalam menghadapi situasi apapun,” kata Alumni Al Azhar Mesir ini.
Ibu rumah tangga, Alfisyah Rachmi mengatakan, yang ia ketahui balut adalah embrio di dalam telur sudah mulai terbentuk dengan ciri adanya anggota tubuh yang lengkap, sehingga statusnya berubah menjadi hewan yang wajib disembelih secara syar’i bila ingin dikonsumsi.
Rachmi mengatakan, sejauh yang ia ketahui, jika tidak disembelih, maka ia termasuk bangkai. Secara umum, Islam mengharamkan konsumsi bangkai. Adapun bangkai yang halal dimakan adalah ikan dan belalang. “Saya pribadi mending tidak mengkonsumsi balut, dan jika ada yg masih ragu-ragu utk mengkonsumsi/tidak lebih baik tidak perlu, masih banyak makanan halal yg bisa dikonsumsi,” ujarnya.
(Banjarmasinpost.co.id/Rizky Fadillah)
Kemenag Banjarbaru Apresiasi Ustadz Muhari: Beri Cahaya Kebaikan |
![]() |
---|
Kiprah Dr H Muhari di Bidang Dakwah, Dirikan Tahfidzul Quran Raudhatul Muta’allimin Annahdliyah |
![]() |
---|
Pecinta Kucing di Kotabaru Kecam Kekerasan Terhadap Kucing |
![]() |
---|
Haram Hukumnya Menyakiti Kucing, Rasulullah SAW Rela Potong Jubah |
![]() |
---|
Momen Bulan Maulid Nabi, Umat Islam Diimbau Perbanyak Amal Kebaikan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.