Terlebih UMKM daerah memerlukan banyak kebutuhan seperti kapasitas, keterampilan, manajemen, keuangan, pemasaraan, jaringan, sertifikasi berbagai produk antara lain halal dan standar nasional.
Sedangkan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kalsel Qomaluddin menilai selama ini pemerintah belum optimal mendukung UMKM.
“Pemerintah belum cukup melindungi dan memperkuat posisi tawar UMKM dalam skema kemitraan dengan usaha besar,” ujarnya.
Dia mencontohkan termin pembayaran yang lama dan komisi konsinyasi yang tinggi. Seharusnya ada pendampingan dan perhatian lebih dalam persoalan ini.
“Kewajiban sertifikasi halal juga menimbulkan kritik karena sistem pelayanan dan ekosistem pendukungnya belum siap. Anggaran untuk itu kecil,” ungkap Qomal.
Pemerintah juga melakukan relaksasi impor yang menyebabkan derasnya arus masuk barang dari Cina hingga mengancam UMKM, terutama di sektor industri tekstil. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga memberatkan UMKM.
“UMKM berharap pemerintah dapat memberikan dukungan yang lebih efektif semisal kemudahan akses pembiayaan dengan bunga rendah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pembiayaan Ultra Mikro,” harapnya.
Kemudian dukungan digitalisasi untuk meningkatkan efisiensi operasional dan memperluas jangkauan pasar. Pendampingan teknis yang terstruktur dan berkelanjutan juga diperlukan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produk UMKM.
“Pengawasan yang lebih efektif terhadap produk impor ilegal untuk melindungi produk dalam negeri,” tandas Qomal. (roy/dea)