Kolom
Aneh Tapi Waras
Jabatan itu amanah, makin tinggi makin berat tanggung jawabnya. Begitulah ajaran agama. Dia menerima dan meyakini ajaran ini
Mujiburrahman
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
BANJARMASINPOST.CO.ID- IA tertegun. Mengapa mereka menganggapnya aneh? Ia menjadi orang asing di lingkungannya sendiri. Padahal, dia hanya berjalan sesuai batas-batas yang telah ditetapkan agama, etika, peraturan dan hukum. Dia pun tidak merasa paling benar. Jika ada orang lain yang mengkritik atau mengajukan saran, dan ternyata baik atau lebih baik dari yang dia pikirkan, dia dengan senang hati menerimanya. Namun, mengapa dia dianggap ganjil, lain dari yang lain?
Jabatan itu amanah, makin tinggi makin berat tanggung jawabnya. Begitulah ajaran agama. Dia menerima dan meyakini ajaran ini. Karena itu, ketika dia berpeluang menduduki satu jabatan, dia sama sekali tidak ambisius, kasak-kusuk kesana kemari. Dia biasa-biasa saja. Kalau ternyata diberikan amanah itu, dia akan berusaha berbuat yang terbaik.
Dia tidak mau menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri, keluarga atau orang lain. Namun, kalau ternyata tidak diberi jabatan itu, tidak apa-apa. Dunia ini luas. Mau berbuat baik, tak mesti harus menduduki jabatan dulu.Namun, ketika hal itu dikatakannya dengan tulus, orang-orang di sekitarnya tidak percaya.
Mereka memang manggut-manggut, pura-pura percaya di depannya. Di belakang, mereka bergunjing, bahwa dia hanyalah bersilat lidah. Ketika kelak dia berhasil menduduki jabatan, orang-orang itu pun mengarang cerita hingga memfitnah.
“Dia itu menjanjikan ini itu dengan orang partai,” katanya. Yang lain lagi memfitnah bahwa dia menggunakan uang kantor untuk menyogok pihak berwenang. Ada pula yang menuduh bahwa dia “menggadaikan” proyek yang akan dikerjakan.
Saat proses lelang proyek berlangsung, si pejabat sama sekali tidak ikut campur. Bahkan ketika penandatanganan kontrak, dia mengundang banyak pihak terkait seperti pelaksana, pengawas, perencana, pejabat pembuat komitmen, pengawas internal, pejabat-pejabat lain di kantornya hingga pendampingan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
“Saya tidak minta apa-apa kecuali tiga: tepat waktu, tepat mutu, dan bebas dari korupsi. Jika ada anak buah saya meminta uang atas nama saya, itu pasti bohong. Laporkan kepada saya,” katanya tegas di depan mereka yang hadir.
Orang-orang yang hadir tampak diam dan menerima yang dikatakannya. Namun di belakang, mereka tak percaya. “Banyak pejabat yang bicara begitu. Faktanya, dia main juga,” kata seorang. Yang lain bahkan bilang, “Arogan sekali dia itu. Seolah tak perlu duit.”
Saat proyek berjalan, sejumlah orang di luar juga mencurigainya. Entah itu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau bahkan aparat hukum. Jangan-jangan, dia makan sendiri, tak mau bagi-bagi. Lalu muncullah surat-surat berupa tuduhan dan ancaman. Tapi karena merasa tak berbuat yang dituduhkan, dia tenang saja.
Suatu kali dia diberi hadiah yang lumayan oleh sebuah lembaga yang berkepentingan. Dia menolak dan mengembalikannya. Orang-orang dari lembaga itu tampak kaget, tak menyangka sama sekali. Dia juga pernah menolak tawaran umrah gratis dari seorang politisi.
Sebelumnya, dia juga menolak tawaran si politisi untuk posisi tertentu dengan gaji lumayan. Kawan-kawannya pun mencibir. “Dasar susah diatur,” katanya. Dia memang tidak mau diatur-atur, tapi dia juga tidak mengganggu urusan orang lain. Dia hanya ingin duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Dia ingin independen.
Sebagai pejabat, dia punya kewenangan untuk memutuskan penggunaan anggaran perjalanan dinas. Kalau dia mau pergi ke manapun, kecuali ke luar negeri, dia sebenarnya bisa memutuskan sendiri. Namun, dia tetap berhati-hati dan membatasi diri, hanya pergi untuk kegiatan yang bermanfaat bagi lembaga.
Dia juga hampir tidak pernah membawa pendamping. Anehnya, ketika dia menerapkan pengetatan itu kepada bawahannya, mereka justru marah. Sebagian mereka bahkan berani mengakal-akali, mencari-cari celah, bagaimana bisa jalan-jalan “gratis” menggunakan uang negara.
Sejak muda, dia membenci korupsi dan bertekad mencegahnya. Dia percaya bahwa uang haram itu tidak berkah dan akan merusak hidup manusia. Karena itu, dia terapkan sistem non-tunai dalam transaksi keuangan kantor. Dia perkuat lembaga pengawasan.
Dia bahkan menegaskan bahwa siapa yang mengkhianatinya akan terkutuk. Ada yang takut dan taat, tetapi ada pula yang tidak. Ada yang menerapkan peraturan keuangan untuk orang lain, tetapi tidak untuk diri sendiri. Ada yang diam-diam mencari celah, dan tertawa ria ketika berhasil mengambil keuntungan pribadi.
Ketika ada layanan yang terlambat, atau dia menunda proses usul naik pangkat bawahannya, orang-orang mencurigainya. Padahal, masalahnya karena syarat yang belum terpenuhi. Begitu pula ketika dia tidak mau membantu program tertentu yang berpotensi merusak integritas, mereka malah menuduhnya mempersulit.
Orang-orang juga mengeluh, mengapa dulu boleh, sekarang tidak boleh. Padahal, peraturan memang sudah berubah, atau yang dulu boleh itu sebenarnya pelanggaran, tapi dibiarkan. Dia akhirnya bilang, “Mari membiasakan yang benar. Jangan membenarkan yang biasa”.
Sebagai pejabat, dia mula-mula hanya ingin bekerja. Tak perlu banyak berita. Dia tidak suka pamer dan pencitraan. Apalagi dia tahu, banyak orang yang tak suka kalau dia berhasil. Pemberitaan akan membuat mereka itu tambah gatal.
Namun, rupanya di zaman tsunami informasi ini, jika tak sering muncul dalam berita dan tak tampak di media sosial, seorang pejabat dianggap tidak bekerja. Dia akhirnya juga ikut menggalakkan berita kegiatan-kegiatannya. Paling kurang, berita-berita itu menjadi arsip dan dokumentasi baginya. Dia sadar, orang yang benci takkan mudah berubah jadi suka.
Sebagai manusia, wajar jika dia tak nyaman mendengar hujatan para pembenci. Pernah dia ditawari seseorang yang berwenang untuk membongkar aib-aib para pembenci itu, tetapi dia menolak. “Saya di sini ingin bekerja, bukan untuk menjebloskan orang ke penjara,” katanya.
Kadangkala dia heran melihat para pembenci itu. Karena tak terpilih jadi kapten, mereka tak segan berusaha melobangi kapal yang mereka tumpangi sendiri. Lain waktu, seorang pembenci yang tega memfitnahnya, justru dengan tebal muka tanpa malu menemuinya, meminta jabatan padanya.
Sekarang, setelah saya pikir-pikir, sebenarnya dia itu waras, bukan aneh. Dia boleh disebut aneh, jika maknanya adalah seperti dalam hadis Nabi: “Islam mula-mula datang dalam keadaan asing, dan kelak akan menjadi asing. Beruntunglah orang-orang asing” (HR Muslim). (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.