Berita Viral

Rekam Ruang Kelasnya yang Ambruk, Guru SD Malah Disuruh Minta Maaf Usai Viral, Nasibnya Jadi Sorotan

Niat baik guru SD memvideokan ruang kelasnya yang ambruk malah berujung pilu. Pak guru malah disuruh minta maaf setelah video viral di media sosial.

Editor: Murhan
Tangkapan layar Ig @bulukumbainfo
MINTA MAAF - Seorang guru SD di Kalukubodo, Bulukumba, Sulawesi Selatan tengah viral di media sosial merekam kelas ambruk, berujung disuruh minta maaf. 
Ringkasan Berita:
  • Niat baik Guru SD memvideo plafon ruang kelasnya yang ambruk berujung pilu
  • Sang guru malah disuruh meminta maaf setelah videonya viral di media sosial
  • Terungkap nasib guru yang diketahui bernama Ahmad Firman itu

BANJARMASINPOST.CO.ID - Niat baik pak guru SD memvideokan ruang kelasnya yang ambruk malah berujung pilu.

Pak guru malah disuruh minta maaf setelah video tersebut viral di media sosial.

Adanya peristiwa itu terjadi di Kalukubodo, Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Awalnya, guru SD bernama Ahmad Firman DM merekam kelas yang atap dan plafonnya runtuh.

Ruang kelas itu ambruk akibat angin kencang.

Setelah beredarnya video tersebut, kini guru yang bernama Firman DM diminta klarifikasi dan meminta maaf.

Baca juga: Dua Pria Asal Banjarbaru dan Balangan Kedapatan Bawa 1,83 Gram Sabu, Diamankan Saat Patroli

Dalam video yang viral diunggah Instagram @bulukumbainfo, Firman menyampaikan permohonan maafnya karena telah membagikan video kerusakan sekolah.

Diketahui atap-plafon salah satu ruangan di SDN 156 Kalukubodo itu roboh pada Selasa (11/11).

"Saya menyampaikan klarifikasi terkait tayangan kerusakan pada atap dan plafon salah satu kelas di SD Kalukubodo, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang beredar di media sosial saya menyatakan hal sebagai berikut: 

Nama Ahmad Firman DM SP.d, jabatan guru kelas, dengan sadar saya menegaskan bahwa benar saya membuat video terkait dengan kerusakan pada plafon sekolah,

Bahwa benar saya yang membagikan video tersebut ke grup WA yang beranggotakan 286 orang," kata Firman.

Diakui Firman niatnya membagikan video ke grup WA agar agar oknum anggota dewan Bulukumba bisa membantu kerusakan sekolah.

"Bahwa benar tujuan saya membagikan video tersebut ke grup WA agar oknum anggota dewan Bulukumba agar dapat melihat dan membantu proses penyelesaian kerusakan sekolah.

Bahwa benar saya disampaikan oleh kepala sekolah tentang tata kelola sekolah yang terjadi di sekolah harus dilaporkan kepada kepsek secara pribadi," terangnya.

Kendati begitu, Firman mengakui lalai karena membagikan video kerusakan sekolah ke grup WA.

"Saya lalai membagikan video ke grup WA, sehingga saya secara pribadi menegaskan saya lalai menjalankan amanah dan pimpinan," jelasnya.

Ia pun mengaku sangat menyesal telah menyebarkan informasi yang tidak akurat serta menimbulkan ketidaknyamanan dari video tersebut.

"Saya sangat menyesal atas tindakan yang saya lakukan dan berkomitmen bersama dengan warga sekolah lainnya untuk mewujudkan yang aman, nyaman, dan menyenangkan, dan bebas dari segala kekerasan," ujarnya.

Firman pun siap menerima konsekuensi atas perbuatannya. 

Ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan menyebarkan informasi yang kurang akurat sehingga menimbulkan salah persepsi pada publik.

"Demikian pernyataan ini saya buat dengan ketentuan bilamana saya menuliskan keterangan yang salah, yang tidak benar, dan kembali mengulangi perbuatan tidak menyenangkan, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku," ujarnya.

"Dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf kepada semua pihak," lanjutnya.

Permintaan maaf Firman ini sontak menyita perhatian publik.

Sejumlah netizen memberikan komentar pada postingan tersebut

kicrizkicriz : Dinas pendidikan setempat gimana sih,, paraahh

miaa.tikasari : Viralkan setujuuuu

cheetah.5380 : Takut ketauan korupsi proyek renovasi sekolah yg asal jad

Curhat Seperti Ini yang Tak Boleh

Berbagai kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sangat signifikan pada era modern seperti sekarang ini. 

Bahkan tidak dapat dipungkiri kehidupan saat ini cenderung bergantung pada teknologi.

Salah satunya adalah kemudahan berkomunikasi. 

Di manapun dan kapanpun kita dapat dengan mudah berkomunikasi, baik via teks, panggilan suara maupun video secara instan. Jarak dan waktu seolah tidak berarti.

Meski begitu, ada kalanya kemudahan komunikasi dapat menjadi bumerang apabila kita tidak cerdas, bijak dan dewasa dalam menggunakannya.

Banyak sekali kasus pidana yang menjerat berbagai pihak yang pada awalnya tidak memiliki niat jahat (mens rea), namun berujung pada jerat pidana akibat curahan hati yang disampaikan, baik di media sosial, email, maupun aplikasi perpesanan pribadi.

Sebut saja pada 2012 lalu, kasus pencemaran nama baik pertama yang gempar di Indonesia, yaitu kasus Prita Mulyasari yang diadukan secara pidana sekaligus digugat secara perdata oleh RS Omni Internasional.

Prita mencurahkan isi hatinya melalui email kepada teman terdekatnya mengenai pelayanan di RS tersebut.

Email tersebut tersebar luas dan membuatnya sempat masuk bui sebelum akhirnya beralih status menjadi tahanan kota karena dinilai mengandung fitnah dan pencemaran nama baik bagi RS tersebut, serta digugat sebesar Rp 204 juta.

Kemudian kasus Baiq Nuril yang dikriminalisasi karena menyebarkan rekaman suara dari kepala sekolah tempat ia bekerja, serta masih banyak kasus lainnya yang berkaitan dengan ungkapan hati, namun berujung pidana.

Lantas apa kriteria suatu ungkapan yang dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana?

Suatu perbuatan dapat dikategorikan tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun UU di luar KUHP secara khusus.

Curhatan hati berisi fitnah, penistaan, penghinaan, baik yang disampaikan melalui media apapun termasuk melalui gawai, dapat berpotensi menjadi tindakan pencemaran nama baik.

Pencemaran nama baik dalam KUHP dibagi menjadi beberapa jenis perbuatan. Dalam konteks ini, suatu ungkapan/pernyataan dapat dikatakan sebagai fitnah apabila memenuhi unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP dan Pasal 434 ayat (1) KUHP baru yang akan berlaku pada 2026 dengan unsur-unsur: (i) Seseorang, (ii) Menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan, (iii) Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut diketahuinya tidak benar dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara.

Sementara itu, menurut R. Soesilo, penerapan pasal fitnah harus merujuk pada pasal 310 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana penistaan.

Adapun unsur pasal 310 ayat (1) KUHP sebagai berikut: (i) Barangsiapa; (ii) Dengan sengaja; (iii) Menyerang kehormatan atau nama baik seseorang; (iv) Dengan menuduh melakukan sesuatu perbuatan tertentu; (v) Dengan maksud yang nyata supaya tuduhan itu diketahui umum dengan ancaman pidana paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak Rp 4,5 juta.

Oleh karena itu, untuk dikatakan sebagai menista, penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dan tuduhan itu tidak benar” dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak).

Sementara itu, masih terdapat potensi pasal yang akan menjerat, yaitu Pasal 315 KUHP mengenai tindak pidana penghinaan ringan yang diancam dengan pidana 4 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 4,5 juta.

Indonesia juga memiliki UU yang mengatur dan melarang perbuatan melalui transaksi elektronik dengan media gawai, yakni UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Sementara ancaman hukumannya terdapat dalam pasal 45 ayat (3), yaitu pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.

Hal yang paling penting pada tindak pidana pencemaran nama baik adalah konten dan konteks.

Penilaian tercemarnya nama baik seseorang pada dasarnya bergantung pada subjektifitas korban/orang yang bersangkutan. Korbanlah yang bisa menilai secara subjektif apakah suatu konten telah menyerang kehormatan dan nama baiknya atau tidak.

Sementara konteks juga berperan memberikan penilaian objektif terhadap suatu konten yang dianggap telah mencemarkan nama baik korban.

Konteks dapat mencakup latar belakang mengenai posisi antara korban dan pelaku sehingga untuk menafsirkannya secara tepat, dibutuhkan beberapa ahli seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi, dll.

Oleh karena itu, kita semua diharapkan bijak dan cerdas dalam melakukan berbagai macam hal melalui gawai, termasuk dalam berkomunikasi dan berekspresi.

Berpikir panjang dan perhitungkan risiko dan akibat yang akan ditimbulkan, mengingat segala jejak digital tidak akan pernah lenyap meski dimakan zaman.

(Banjarmasinpost.co.id/TribunJatim.com)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved