Antara Takdir dan Ikhtiar Manusia
Takdir memang kejam. Tak mengenal perasaan. Bersimpuh ku genggam harapan yang jadi arang.
Oleh : Mohammad Mufid Lc MHI
Dosen IAIN Antasari Banjarmasin
Takdir memang kejam. Tak mengenal perasaan. Bersimpuh ku genggam harapan yang jadi arang. Oh..Takdir memang kejam, tak dapatkah kau rasakan. Demikian penggalan lirik pada lagu yang berjudul “Takdir” ciptaan Chossy Pratama yang dinyayikan oleh Dessy Ratnasari.
Lagu ini pernah booming pada era pertengahan 1990-an dan sempat juga mengundang protes keras dari sebagian kalangan masyarakat kita. Khususnya, pada lirik yang berbunyi “Takdir memang kejam” di bagian reff-nya.
Menurut kalangan yang memprotes, jika takdir dianggap kejam-mungkin begitu pikir mereka yang protes- maka berarti Tuhan juga kejam, karena Dialah Dzat pemilik dan penentu takdir. Karenanya, menyebut takdir itu kejam sungguh tidak elok dan etis, terlebih bila dinyanyikan dalam sebuah lagu yang sering didengar oleh masyarakat umum.
Kata takdir (taqdîr) dalam Alquran diambil dari kata qaddara berasal dari kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran. Jika dikatakan, “Allah telah menakdirkan demikian,” maka hal itu berarti Allah telah memberi kadar, ukuran atau batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya.
Dalam ajaran Islam, menyakini takdir merupakan bagian dari rukun iman. Itu sebabnya, berbicara tentang takdir berarti sedang membahas keyakinan dan keimanan. Percaya terhadap garis takdir baik-buruknya sesuatu adalah keniscayaan yang harus diyakini oleh orang-orang yang beriman.
Para ahli teologi Islam pernah berdebat panjang tentang takdir manusia. Sebagian teolog mengatakan bahwa manusia bebas melakukan apa saja. Ia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Itu sebabnya, perbuatan baik dan buruk manusia menurutnya ditentukan oleh pribadi masing-masing, tanpa ada campur tangan dari Tuhan. Hal ini berdasarkan QS Al-Kahfi: 29 yang artinya: “Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang hendak kufur, silakan juga kufur”.
Pandangan di atas, disanggah oleh mayoritas ulama Ahlussunnah. Karena pemahaman bahwa manusia memiliki “kebablasan mutlak” dan tidak terikat pada takdir Tuhan berarti mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah. Sebab Allah lah Dzat yang Mahakuasa yang menentukan takdir bagi seluruh makhlukNya, termasuk takdir bagi setiap manusia.
Sanggahan tersebut juga disandarkan pada beberapa ayat Alquran, misalnya: QS Al-Shaffat: 96: “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan”. Demikian halnya, QS Al-Insan: 30: “Apa yang kamu kehendaki (tidak dapat terlaksana) kecuali dengan kehendak Allah jua”. Juga QS. Al-Furqan: 2: “Dia (Allah) yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan sesempurna-sempurnanya”. Sayangnya, masih banyak orang yang salah paham terhadap hubungan qadha dan qadar (takdir) Tuhan serta ikhtiar manusia ini.
Dalam literatur ilmu kalam (teologi Islam) qadha didefinisikan sebagai pengetahuan Allah di zaman azali atas apa yang akan terjadi di masa mendatang. Sementara qadar adalah ketetapan Allah atas setiap yang terjadi di alam raya berdasarkan pengetahuanNya sejak di zaman azali. Dengan demikian, qadar merupakan realisasi dari qadha Allah. Itu sebabnya, setiap takdir tidak luput dari ilmunya Allah (qadha).
Sementara ikhtiar sebenarnya ada hubungan erat dengan kata khair yang berarti sesuatu yang terbaik. Kata ikhtiar merupakan derivasi dari kata ikhtâra yang berarti pilihan. Terkadang juga, diartikan dengan usaha. Sebab, biasanya usaha itu dilakukan melalui proses memilih, mana yang lebih baik atau lebih mudah.
Karenanya, ikhtiar manusia sering diidentikkan dengan bentuk usaha yang dilakukan seseorang dalam rangka mencapai apa yang diinginkannya.
Pertanyaannya, apakah dengan adanya ketentuan Tuhan (takdir) berarti meniadakan ikhtiar (usaha) manusia. Dengan kata lain, apakah qadhâ Allah meniscayakan adanya pemaksaan kehendak Tuhan atas makhlukNya. Manusia hanya menjadi “boneka” yang tidak memiliki kebebasan untuk memilah dan memilih yang terbaik bagi dirinya.
Mengenai hal ini, Syekh al-Buthi dalam bukunya: “al-Insân, Musayyar am Mukhayyar” (manusia antara diintervensi dan diberi pilihan) menjelaskan secara gamblang. Menurut dia, ketentuan Allah tidak meniscayakan adanya jabr (paksaan) dan ilzâm (keniscayaan) dari Allah terhadap manusia. Karena, ketentuan Allah (qadhâ) tidak lebih sekadar pengetahuan Allah terhadap apa yang terjadi dan yang akan terjadi di jagad raya ini. Sebagaimana dalam kaidah: al-ilmu tâbiun lil ma’lûm (suatu pengetahuan selalu mengikuti terhadap obyek yang diketahui).
Lebih lanjut, Syekh al-Buthi menjelaskan, jika sesuatu yang diketahui Allah itu berhubungan dengan perbuatan dan kehendak (ikhtiar) manusia akan suatu tindakan tertentu, maka pengetahuan Allah mengikuti ikhtiar manusia itu sendiri. Artinya, Allah memberikan manusia kehendak secara universal (irâdah kulliyah) yang dengannya ia mampu memilah dan memilih sesuatu yang hendak dilakukan.
Ketika ia menentukan pilihan untuk berbuat, saat itulah Allah memberikan “jalan” untuk berbuat apa yang diinginkannya, berdasarkan kehendak manusia itu sendiri. Oleh karena itu, Allah mengetahui dan akan berbuat sesuatu yang bersumber dari manusia berdasarkan kehendak manusia dan pilihannya sendiri, baik berupa perkara yang baik ataupun yang buruk. Inilah makna adanya ketentuan Allah (takdir).
Bisakah takdir berubah? Suatu ketika di negeri Syam terjadi wabah penyakit. Sahabat Umar bin Khattab ra yang berencana berkunjung ke negeri tersebut pun dibatalkan. Tiba-tiba ada yang bertanya: apakah Anda sengaja lari atau menghindar dari takdir Tuhan? Sahabat Umar ra. menjawab: saya menghindar dari takdir Tuhan kepada takdir-Nya yang lain.
Jawaban sahabat Umar ra. di atas, menunjukkan bahwa terjangkitnya penyakit adalah suatu takdir yang telah ditetapkan Allah, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya.
Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari marabahaya, maka itu pun bagian dari takdir. Beralihnya dari satu takdir ke takdir lain adalah bagian dari takdir itu sendiri. Setiap proses demi proses adalah bagian dari takdir. Oleh karena itu, manusia dalam berbagai kondisinya tidak bisa terlepas dari takdir yang sudah digariskan.
Setiap kita memang memiliki takdirnya masing-masing. Dan ingat, takdir tidak pernah kejam terhadap kita. Karena adanya takdir bukan berarti “merampas” kehendak dan kebebasan kita.
Sekali lagi, takdir tidak pernah membelenggu “kebebasan” kita untuk memilih mana yang terbaik. Hanya saja, tidak semua yang kita klaim baik bagi kita, baik pula di mata Allah. Begitu juga sebaliknya. (*)