Dua Penyelam Jepang Ini Mencari Keluarganya yang Tersapu Tsunami

Seorang mencari istrinya, seorang lain mencari anak perempuannya yang menjadi korban tsunami yang meluluhlantakkan Jepang empat tahun lalu

Editor: Didik Triomarsidi
banjarmasinpost.co.id/Getty Images
Butuh berbulan-bulan sampai Yasuo Takamatsu mendapat sertifikat menyelamnya 

Dari 13 pegawai bank yang berlindung di atap gedung hari itu, salah satunya adalah Yoko Tamatsu, 47 tahun. Suaminya, Yasuo, mengantarkan dia ke kantor pagi itu dengan mobil meski mereka tinggal hanya beberapa menit dari situ. Pada perjalanan singkat itu, mereka sempat membahas menu makan malam. "Jangan bilang: 'Apa saja boleh!'" kata Yoko.

Bersama dengan Yoko, di atap itu juga ada koleganya, Emi Narita, 26 tahun, dari kota tetangga, Ishinomaki, tempat ayahnya Masaaki menjalankan pabrik pengolahan ikan. Emi bertemu dengan ayahnya semalam sebelumnya saat mengambil makan malam - neneknya masih sering memasak untuk Emi.

Saat para pegawai bank berdiri dengan cemas di atap, mereka bertanya-tanya, apa masih sempat untuk pindah ke rumah sakit di dekat mereka - bangunannya lebih tinggi dan kokoh, tapi mereka memutuskan tetap di sana. Toh, tsunami setinggi enam meter hanya akan mencapai lantai pertama. Beberapa turun untuk mengambil mantel - suhunya saat itu dingin, di tanah masih ada salju.
Yoko mengirimkan pesan ke suaminya: "Apakah kamu aman? Aku ingin pulang."

Beberapa waktu kemudian, gelombang tsunami menyampu Onagawa. Rekaman para korban selamat alias penyintas menunjukkan bagaimana air berwarna gelap itu bergerak tanpa henti, menyapu bersih kota, menyingkirkan semua yang dilewatinya.

Bangunan hancur, mobil dan truk terangkat seperti mainan, dan mengambang, menambah kekuatan penghancuran gelombang. Dalam beberapa menit, laut sudah mengepung area yang asalnya terpikir akan selamat.

Bank segera terendam air. Hanya dalam lima menit, air sudah memenuhi setengah gedung. Para pegawai memutuskan untuk naik lebih tinggi ke atas ruang listrik di atas atap gedung dua lantai. Saat memanjat tangga setinggi tiga meter, angin kencang hampir menghempaskan mereka.

Banyak orang menjadi saksi upaya para pegawai bank ini untuk menyelamatkan diri. Seseorang menulis di laman Facebook: "Kami langsung tercekat setiap kali memikirkan bankir perempuan yang memakai rok, harus memanjat tangga sambil merasakan ketakutan yang tak bisa kami bayangkan, dan bankir pria yang harus melemparkan jas mereka di saat akhir, meski cuaca dingin, dengan ketakutan, penyesalan, dan kesedihan mereka."

Gelombang tsunami ternyata jauh lebih besar dari perkiraan.

Sistem pertahanan kota dibangun berdasarkan tsunami terparah yang pernah terjadi, yaitu tsunami setinggi enam meter di Cile pada 1960. Tapi gelombang kali ini ternyata tiga kali lebih tinggi.

Alhasil, banyak tempat perlindungan yang terendam - bahkan rumah sakit pun kebanjiran, empat orang tewas di bangunan tersebut dan sekitar 16 lainnya tewas di area parkir mobil.

"Onagawa adalah salah satu daerah terparah yang terkena dampak tsunami," kata Tsutomu Yamanaka, koordinator penyaluran bantuan untuk organisasi Japan Platform yang datang seminggu setelah bencana terjadi.

Pesisir kawasan itu adalah serangkaian lembah sungai yang bentuknya "seperti gigi gergaji", katanya, dan tsunami mencapai ketinggian maksimal saat air memasuki area-area sempit tersebut.
Terjepit antara samudera dan pegunungan, kota punya kemungkinan kecil selamat. Foto satelit memperlihatkan bagaimana laut masuk dan merenggut kota. Lebih dari 5000 bangunan tersapu habis atau rusak total.

"Gedung-gedung tercerabut dari fondasinya," kata Yanamaka, menggambarkan apa yang ia lihat saat tiba di Onagawa. "Kereta bisa terangkat dan terbawa ke bukit, jauh dari stasiun."

Pagi setelah terjadinya tsunami, Yasuo Takamatsu pergi ke rumah sakit untuk menemukan Yoko. Tak lama berkendara, ia harus meninggalkan mobilnya dan berjalan melewati reruntuhan.
Yasuo tertegun saat tak bisa menemukan Yoko.

"Ada banyak orang yang berlindung di sana, tapi saya diberitahu bahwa dia terbawa tsunami," katanya. "Setelah itu, saya tak bisa lagi berdiri. Kekuatan saya tersapu habis."
Masaaki, ayah Emi Narita, butuh waktu lebih lama untuk mengetahui nasib anak perempuannya setelah tsunami.

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved