Dua Penyelam Jepang Ini Mencari Keluarganya yang Tersapu Tsunami
Seorang mencari istrinya, seorang lain mencari anak perempuannya yang menjadi korban tsunami yang meluluhlantakkan Jepang empat tahun lalu
Dia baru saja berhasil menyelamatkan diri dengan mobil bersama ibu mertuanya, gelombang tsunami "terlihat datang di beberapa mobil di belakang kami".
Selama empat hari, Masaaki tak bisa menghubungi istrinya yang bekerja sebagai perawat, jauh dari rumah. Istrinyalah yang memberitahu bahwa Emi hilang. "Saya tak percaya. Sampai sekarang saya tak percaya," kata Masaaki. "Sampai saya tahu, saya tetap yakin Emi selamat."
Pejabat setempat kewalahan dengan skala bencana yang terjadi, para staf pun kehilangan anggota keluarga mereka, selain juga ada masalah logistik dan praktis yang besar.
Hampir 1 dari 10 orang penduduk di kota tersebut hilang atau tewas. Kebanyakan penyintas tinggal di akomodasi khusus untuk evakuasi. Berhari-hari mereka mencari sanak keluarga yang hilang, mengecek di antara tumpukan kekacauan, dan berjalan berkilo-kilo di pesisir.
Takamatsu juga di sana, mencari istrinya, Yoko. "Saya mencari dia ke mana-mana, tapi saya tak bisa menemukannya," kata Takamatsu.
Satu-satunya yang ia temukan adalah telepon seluler Yoko di area parkir mobil di belakang gedung Bank 77. Awalnya Takamatsu berpikir ponsel itu tak akan menyala karena sudah terendam air, tapi beberapa bulan kemudian, dia mengeluarkan ponsel itu dan mencoba menyalakannya.
Ternyata, bisa. Lalu dia melihat pesan lain yang tak pernah ia baca. Isinya: "Tsunaminya sangat besar."
Dari 13 orang yang ada di atap, ada satu yang selamat. Dia berpegangan ke reruntuhan yang mengambang dan terbawa ke laut, hampir pingsan di air yang sedingin es sebelum diselamatkan oleh kapal nelayan berjam-jam kemudian.
Jenazah empat staf bank sudah ditemukan, tapi delapan hilang, termasuk Emi dan Yoko. Pegawai yang meninggalkan gedung dengan mobil selamat.
"Saya tak mengerti kenapa mereka naik ke atap," kata Narita. "Tak ada tempat lagi untuk menyelamatkan diri. Jika mereka lari ke pegunungan, mereka bisa naik ke tempat yang lebih tinggi lagi. Saya pikir semua orang sudah tahu untuk lari ke gunung."
Gedung yang hancur pun dibersihkan bersama dengan gedung-gedung lain di area pelabuhan, kecuali satu, yang dibiarkan sebagai monumen. Meski kota sudah dibangun ulang, namun keluarga yang ditinggalkan merasa sulit untuk melanjutkan hidup."Kami masih hidup di 2011," kata Narita.
Takamatsu masih dihantui oleh pesan yang dikirimkan Yoko. "Saya masih merasa bahwa dia sebenarnya ingin pulang," katanya.
"Andai saja saya menjemput dia dari bank setelah gempa terjadi, tapi saya masih tak yakin apakah itu keputusan tepat. Alarm tsunami memperingatkan kami untuk menjauh dari garis pantai, dan jika saya datang untuk menjemputnya, maka saya bisa ikut tersapu tsunami.
"Toh di saat bersamaan saya berharap bisa pergi dan menyelamatkan dia."
Dua tahun lalu, saat ia melihat para penyelam dari Penjaga Pantai Jepang untuk mencari korban yang hilang, ide pun terlintas pada Takamatsu: dia bisa melakukan hal yang sama, dan membawa pulang Yoko.
"Maka saya belajar menyelam. Saya merasa saya bisa bertemu lagi dengannya suatu hari selama saya terus menyelam," kata Takamatsu.
Takamatsu membutuhkan sertifikat menyelam, maka ia pun mulai belajar di sekolah menyelam. Saat dia membahas rencana ini bersama Narita sambil menawarkan diri untuk mencari Emi, Narita malah ingin bergabung.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/yasuo-takamatsu_20150717_161218.jpg)