Dua Penyelam Jepang Ini Mencari Keluarganya yang Tersapu Tsunami

Seorang mencari istrinya, seorang lain mencari anak perempuannya yang menjadi korban tsunami yang meluluhlantakkan Jepang empat tahun lalu

Editor: Didik Triomarsidi
banjarmasinpost.co.id/Getty Images
Butuh berbulan-bulan sampai Yasuo Takamatsu mendapat sertifikat menyelamnya 

Belajar menyelam adalah tantangan bagi pria-pria ini, keduanya di usia pertengahan 50an. Takamatsu khawatir jika ia tak mendapat oksigen dan harus ke permukaan untuk menghirup udara. "Pada kedalaman 5 meter, saya bisa berenang tanpa masalah, tapi dalam 20 meter mulai berbahaya - memikirkannya saja membuat saya takut," katanya.

Narita punya masalah lain. "Saya tidak takut, tapi saya tak bisa mengendalikan badan saya di bawah laut," katanya. Bahkan dia kesusahan mengatur pernapasan. "Saya sama sekali tak ingin berhenti, tapi saya kesulitan."

Setelah berbulan-bulan latihan, mereka akhirnya mendapat sertifikat menyelam musim panas lalu, dan melakukan lebih dari 80 kali penyelaman. Pencarian itu menyemangati diri mereka.

"Sebelum bisa menyelam, saya hanya menerima saja, tapi setelah saya memutuskan untuk mencari sendiri anak saya, saya bisa berpikir positif - meski sedikit. Saya termotivasi untuk mencarinya," kata Narita.

"Rasanya putus asa jika hanya diam saja," kata Takamatsu. "Awalnya saya berharap untuk bisa menemukan istri saya, tapi kini saya berharap bisa menemukan korban lain juga."
Namun pekerjaan mereka cukup berat. Teluk yang mereka selami sangat dalam dan sebagian besar objek berada di bawah lapisan lumpur yang tebal, yang jika dihapus, malah mengaburkan pandangan.

Ada hari-hari baik. Satu hari mereka menemukan kotak kaligrafi milik seorang anak dengan namanya di bagian depannya, dan sebuah album foto pernikahan. Benda apapun yang ada namanya akan kembali ke pemiliknya. Dompet, buku tabungan, dan perangko diserahkan pada polisi. Foto-foto seringnya bisa direstorasi.

Berdasarkan perkiraan ada lima juta ton sampah yang terseret ke dasar laut oleh tsunami. Dua pertiganya tenggelam di lepas pantai, memenuhi dasar laut, dan merusak ekosistem kelautan.

Sekitar sepertiga tersapu lepas, dalam puing-puing raksasa yang terlihat dalam citra satelit.
Kapal, pelampung suar, tabung gas, dan pintu kulkas masih terus terdampar di pesisir Amerika Utara dan Hawaii.

Namun sebagian besar 'sampah' tsunami sudah menjadi "kabut plastik" yang terkumpul di gelombang laut. Marcus Eriksen, dari 5 Gyres Institute, memimpin ekspedisi untuk mengumpulkan serpihan sisa tsunami pada Juni 2012. Sekitar 804 ribu kilometer timur Tokyo, mereka melihat ember-ember, botol deterjen, separuh kapal, dan ban truk yang masih penuh angin.

"Satu hari, satu sepatu mengambang," kata Eriksen. "Yang mengerikan, talinya masih terikat rapat - itu membuat kami tercenung."

Jasad dari 2000 orang, dari sekitar 16 ribu yang diperkirakan tewas, tak pernah ditemukan.
Lalu bagaimana dengan mereka yang hilang dari Onagawa - seberapa jauh mereka bisa hanyut? Tak jauh, kalau kata Hiroshi Kitazato dari Badan Sains dan Teknologi Laut-Bumi Jepang.

"Saya rasa mereka langsung tenggelam di teluk. Saya berbicara dengan para nelayan di kota Onagawa, katanya, dalam beberapa tahun terakhir, mereka tak menemukan jasad di jaring ikan. Artinya, dalam dua atau tiga tahun terakhir menjaring jasad manusia."

Kitazato juga menambahkan, bahwa datang dari kota yang kecil, para nelayan itu mungkin tahu siapa yang mereka tarik dari laut. "Pasti rasanya buruk."

Empat tahun kemudian, kejadian ini makin jarang karena zat organik sudah pasti sebagian besar "kembali ke alam", kata Kitazato. "Kini, kami semakin jarang menemukan jasad atau benda-benda milik mereka saat penelitian."

Pekerjaan Kitazato bertujuan untuk membantu memulihkan ekosistem, tapi setelah tsunami banyak orang yang "merasa trauma dengan laut" katanya. Dan bagian dari upayanya untuk menjelaskan cara laut bekerja. Timnya datang ke sekolah-sekolah untuk menunjukkan sisi positif laut - "betapa indahnya organisme laut dan bagaimana sistem kelautan membawa manfaat buat kehidupan manusia."

Banyak dari penghuni Onagawa yang pindah untuk melupakan ingatan bencana tersebut - dan untuk mencari kerja. Takamatsu tetap tinggal, dan lewat menyelam, bisa menghargai laut dengan cara baru. "Saya menemukan makhluk-makhluk yang tak pernah saya lihat sebelumnya, ikan yang cantik seperti ikan lump (Cyclopterus lumpus)," katanya. "Biasanya kita tak bisa melihat dunia seperti itu."

Meski upaya keduanya jauh dari menemukan hasil berarti, Takamatsu dan Narita tak berniat untuk menyerah. "Saya masih berharap kami menemukan sesuatu - mungkin jasad manusia, terlepas dari apakah dia anak perempuan saya atau bukan," kata Narita.

Satu-satunya kenangan yang ia punya akan Emi adalah lukisan yang dipesan Narita setelah Emi tewas, yang dipajang di tempat istimewa di ruang tamu. Semua foto-fotonya, bersama rumah keluarganya, ikut hilang.

"Saya ingin mencari anak perempuan saya selama badan saya mengizinkan. Jika saya menyerah, kansnya nol. Jika saya terus mencari, setidaknya peluang itu masih ada."

Takamatsu sependapat. "Saya ingin terus melanjutkan pencarian selama saya masih kuat, meski peluangnya menemukan istri saya kecil. Saya tahu dia sudah meninggal, tapi saya tak ingin dia sendirian di bawah laut.(bbc_indo)

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved