Nyaris Terjerumus Kehidupan LGBT, Jenny: Kalau Punya Malu, Pasti Bisa Berubah
Di tengah rasa nyamannya dengan perempuan, Jenny mengaku ada pergolakan batin. Ia merasa ada yang salah dengan dirinya.
Penulis: Rahmadhani | Editor: Mustain Khaitami
"Saya memang waktu itu masih malu-malu mengakui saya lesbi. Tapi dorongan suka pada sesama jenis itu kuat sekali. Nyaman sekali dekat dengan perempuan. Bahkan maaf, sampai terangsang. Benar-benar sudah tidak ada rasa dengan laki-laki," katanya.
Di tengah rasa nyamannya dengan perempuan, Jenny mengaku ada pergolakan batin. Ia merasa ada yang salah dengan dirinya.
"Saya terus sadari bahwa walau nyaman, apa yang saya alami ini aneh. Saya coba mulai terbuka dengan laki-laki," katanya.
Awal 2011, saat sudah kembali di Banjarmasin Jenny mulai membuka diri. Dia memilih banyak bergaul dengan teman laki-laki.
"Saya coba lawan rasa suka sama sesama jenis itu. Saya balik, banyak berteman dengan laki-laki," katanya.
Hingga akhirnya dia bertemu dengan laki-laki yang jadi suaminya dan ayah dari anak-anaknya sekarang.
"Suami saya waktu itu mendekati saya. Tapi tidak langsung saya terima karena jujur saya masih trauma dengan laki-laki dan pernikahan," katanya.
Lambat laun, Jenny yang memang mulai membuka diri akhirnya bisa menerima kehadiran sang suami.
"Suami saya banyak membantu saya untuk merubah diri. Dia bisa meyakinkan saya, tidak semua laki-laki sama dan kehidupan normal itu lebih bahagia kok. Alhamdulillah kami menikah akhir tahun 2011 lalu dan kini sudah punya anak," katanya.
Dia mengatakan, dari pengalamannya dorongan melawan rasa suka pada sesama jenis bisa dilawan dari diri sendiri dan lingkungan.
Kini selain sibuk dengan keluarganya, Jenny juga bekerja di salah satu perusahaan swasta di Banjarmasin.
"Intinya sih dari diri sendiri dulu. Seperti yang saya bilang di awal, pasti bisa berubah kalau mau. Kalau diri sudah mau berubah, jangan dekat-dekat dengan lingkungan begitu. Cari aktifitas lain yang lebih positif," katanya. (Rahmadhani)
