BPost Cetak

BPJS, Listrik dan LPG 3 Kg Naik, Inilah Kapitalis Rasa Sosialis

Jika semua beban biaya diserahkan para mekanisme pembentukan harga yang ditentukan oleh pasar, inilah indikator ciri sistem kapitalisme.

Editor: Hari Widodo
Kompas.com/ Luthfia Ayu Azanella
Ilustrasi BPJS Kesehatan 

Hal ini dikarenakan pemerintah menganggap bahwa intervensi berlebihan akan mengubah harga keseimbangan yang diciptakan oleh pasar.

Sebab negara hanya membatasi dirinya sebagai regulator untuk mengatur persaingan dalam masyarakat dan menjamin hak dan kewajiban dapat berjalan secara seimbang.

Haram hukumnya bagi negara untuk mengatur aspek subjektifitas masyarakat, merupakan ciri lain dari kapitalisme.

Jika semua indikator ini dapat berjalan dengan baik, maka negara telah menjalankan sistem pemerintahan dengan konsep kapitalisme paripurna.

Sebuah alibi justru ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia, sebab disatu ingin menunjukkan ciri khasnya sebagai agen kapitalis sejati sekaligus menunjukkan sikap refeseif dan cenderung mencampuri aspek subjektifitas masyarakat.

Lihatlah intervensi yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama, misalnya doktrin radikalisasi yang selalu digembar-gemborkan. Atas hal ini, Siti Zuhro (peneliti LIPI) berpendapat bahwa bukan radikalisme yang menjadi musuh akut Indonesia tapi budaya korupsi dan kesenjangan pembangunan. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan radikalisme.

Hal refresif lain yang sedang dipertontonkan negara dengan wacana penyeragaman ceramah bagi umat Islam serta daftar ustadz yang direkomendasikan oleh kementerian yang dipimpin oleh Jenderal (Purn) Fakhrurrazi yang bisa diundang dalam acara-acara keagamaan yang dilakukan oleh kantor-kantor pemerintahan.

Puncak refresif pemerintah dalam melakukan intervensi adalah pemerintah ingin menggunakan dana haji untuk kepentingan investasi untuk memacu akselerasi pembangunan. Dana haji untuk pembangunan memang sangat menggiurkan, ditengah arus pembangunan yang bertumpu pada utang luar negeri.

Tindakan refresif seperti ini mengindikasikan pemerintah mengadopsi sisem sosialis, seperti yang dipertontonkan oleh Xi Jinping terhadap komunitas muslim Uighur di Provinsi Xinjiang di bagian Utara Tiongkok.

Berseberangan dengan sistem Kapitalisme, Sosialisme justru menghendaki kehidupan masyarakat yang serba mendapat pengaturan oleh intervensi negara. Intervensi ini sampai pada akumulasi modal dan kekayaan harus menjadi milik negara yang digunakan untuk melakukan distribusi pendapatan untuk menghindari segregasi sosial dalam masyarakat.

Corak pembangunan yang menjadi inspirasi dalam arah pembangunan Indonesia meniru cara kapitalisme dalam menyerahkan sepenuhnya pembentukan harga kepada mekanisme pasar dan pengurangan subsidi untuk masyarakat miskin.

Tapi juga meniru cara Sosialis dalam menunjukkan sikap refresif (baca:otoriter) terhadap urusan subjektifitas masyarakat. Inilah standar ganda yang sedang dipertontokan oleh rezim Presiden Jokowi saat ini.

Demokrasi ekonomi Pancasila yang selalu digadang-gadang menjadi jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme hanya tinggal slogan dan pemanis saat kampanye dulu. Faktanya, hampir tidak ada upaya nilai-nilai Pancasila yang diterapkan dalam setiap kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah hari ini.

Akibat ketidakkonsistenan yang ditunjukkan oleh pemerintah dalam pembangunan, mengakibatkan banyak indikasi kemunduran yang terjadi.

Misalnya era Presiden Jokowi dinilai semangat pemberantasan korupsi sangat lemah, juga langkah antisipasi negara dalam menjaga aset-aset negara tidak sehingga aset-aste tersebut banyak dijual kepada pihak asing dengan dalih investasi.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved