Berita Internasional

Armenia Mendadak Alami Krisis Usai Kalah Perang Lawan Azerbaijan, Nikol Pengkhianat!

Armenia masuk ke jurang krisis beberapa menit setelah Perdana Menteri Nikol Pashinyan menandatangani perjanjian untuk mengakhiri konflik

Editor: Didik Triomarsidi
AP PHOTO/DMITRY LOVETSKY
Asap mengepul dari rumah yang terbakar di Nagorno-Karabakh, dan kendaraan terjebak macet di jalan Kaljabar yang menuju Armenia pada Sabtu (14/11/2020). Wilayah itu akan diserahkan ke Azerbaijan sesuai kesepakatan damai untuk mengakhiri perang selama 6 minggu. 

Editor : Didik Trio Marsidi
BANJARMASINPOST.CO.ID, YEREVAN - Duka cita dan rasa frustrasi ditumpahkan rakyat Armenia ke jalanan ibu kota di Yerevan, menyusul pengumuman perjanjian damai yang mengejutkan pada Selasa (10/11/2020).

Kemudian Armenia masuk ke jurang krisis beberapa menit setelah Perdana Menteri Nikol Pashinyan menandatangani perjanjian untuk mengakhiri konflik di Nagorno-Karabakh.

Kesepakatan damai yang diteken itu meliputi konsesi teritorial yang menguntungkan Azerbaijan, dan kehadiran pasukan penjaga perdamaian dari Rusia setidaknya sampai lima tahun ke depan.

Para demonstran menyerbu parlemen dan kantor-kantor pemerintahan, disusul aksi protes dari partai-partai oposisi sehari setelahnya. Mereka menuntut Pashinyan mundur dan diganti pemimpin baru.

Baca juga: KEPASTIAN Premium Tak Lagi Dijual Awal 2021, Pertamina Sebut Hal Itu Kewenangan Pemerintah

Baca juga: Baru 2 Hari, Perang Azerbaijan vs Armenia di Nagorny Karabakh Sudah Membunuh 39 Orang

Baca juga: PERANG Azerbaijan vs Armenia Pecah di Nagorny Karabakh, 23 Orang Tewas, pada 1990 Ada 30.000 Tewas

Aksi yang dimulai di Teater Opera itu diwarnai cacian kepada PM Armenia. Massa berteriak, "Nikol, pengkhianat!" lalu menuju gedung parlemen untuk menyerukan pemakzulan Pashinyan.

Diberitakan Al Jazeera pada Kamis (12/11/2020), polisi antihuru-hara dikerahkan untuk mengendalikan massa, dan mereka melakukan beberapa penangkapan.

Anna Mkrtchyan (26) seorang pengacara dari Yerevan, ditangkap karena melakukan protes di dekat Teater Opera. Dia dibawa ke kantor polisi tapi dibebaskan beberapa jam kemudian.

"Saya protes untuk melindungi tanah saya, tanah yang sekarang diberikan oleh Pashinyan ke Azerbaijan, tempat ribuan orang Armenia terbunuh."

"Kami berjuang untuk Tanah Air kami dan hak-hak orang yang tinggal di Artsakh," lanjutnya merujuk pada istilah Armenia untuk menyebut Nagorno-Karabakh.

Wilayah sengketa itu terletak di dalam Azerbaijan tetapi dihuni etnis Armenia. Penguasaannya diperdebatkan sejak 1980-an. Banyak orang di Yerevan percaya Nagorno-Karabakh termasuk bagian negara mereka.

Selama pertempuran terbaru yang berlangsung lebih dari sebulan, tak kurang dari 1.000 orang tewas termasuk puluhan warga sipil di kedua pihak.

Banyak etnis Armenia di Nagorno-Karabakh melarikan diri dari wilayah itu, sedangkan warga Azerbaijan di daerah yang dihantam rudal juga mengungsi ke tempat lain.

"Saya bekerja dengan anak-anak terlantar dan saya harus menemui mereka hari ini untuk memberitahu bahwa mereka tidak akan pernah bisa pulang, karena PM mereka telah menyerahkannya," kata seorang pengunjuk rasa yang tidak disebut namanya.

"Jika negara kita akan diserahkan, itu bisa dilakukan 44 hari yang lalu dan kita tidak akan kehilangan ribuan nyawa."

Banyak yang merasa ditipu karena mereka baru tahu perjanjian damai itu saat sudah diberlakukan. Kata mereka, penandatanganan tersebut tidak demokratis tanpa keterlibatan rakyat.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved