Tajuk

Cabai Semakin Pedas

BELUM selesai masalah minyak goreng, ibu rumah tangga hingga pengusaha kuliner dihadapkan lagi dengan harga cabai yang terus meroket.

Editor: Hari Widodo
BPost Cetak
Ilustrasi - Tajuk Banjarmasinpost 

BANJARMASINPOST,CO.ID - BELUM selesai masalah minyak goreng, ibu rumah tangga hingga pengusaha kuliner dihadapkan lagi dengan harga cabai yang terus meroket.

Masyarakat Indonesia sebagian besar adalah penyuka pedas, bahkan hampir semua kuliner di Indonesia memasukkan cabai sebagai salah satu bahan makanan, yang menambah cita rasa.

Dari restoran mewah hingga warung makan di pinggir jalan, sampai penjual gorengan selalu tersedia sambal hingga acar lombok, dan cabai muda yang menjadi teman makan.

Apa jadinya bila rasa pedas menghilang dalam masakan Indonesia, warung-warung makan tak lagi menyediakan sambal, mungkin akan mengurangi selera makan.

Dikutip dari wikipedia, cabai rawit (Capsicum frutescens) adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum yang buahnya tumbuh menjulang menghadap ke atas.

Warna buahnya hijau kecil sewaktu muda dan jika telah masak berwarna merah tua. Bila ditekan buahnya terasa keras karena jumlah bijinya sangat banyak.

Ia tidak bisa dipisahkan dari kudapan jalanan, yaitu gorengan, dia biasa dimakan bersama cabai rawit muda mentah.
Cabai rawit mempunyai dua varietas besar, yaitu rawit hijau dan rawit putih atau merah. Yang sering dipakai untuk kudapan gorengan ialah varietas rawit hijau, sedangkan rawit putih biasanya dipakai sebagai bumbu masakan atau disambal. Ada kemungkinan varietas rawit putih adalah hasil persilangan

Cabai rawit selain di Indonesia, dia juga tumbuh dan populer sebagai bumbu masakan di negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Di negara Malaysia dan Singapura dia dinamakan cili padi, di Filipina siling labuyo, dan di Thailand phrik khi nu. Di Kerala, India, terdapat masakan tradisional yang menggunakan cabai rawit dan dinamakan kanthari mulagu. Dalam bahasa Inggris dia dikenal dengan nama Tabasco chili pepper atau bird's eye chili pepper.

Buah cabai rawit berubah warnanya dari hijau menjadi merah saat matang. Meskipun ukurannya lebih kecil daripada varietas cabai lainnya, dia dianggap cukup pedas karena kepedasannya mencapai 50.000-100.000 pada skala Scoville.

Cabai rawit biasa dijual di pasar-pasar bersama dengan varitas cabai lainnya. Kadar airnya rendah sehingga dapat disimpan hingga 12 hari setelah dipetik serta tahan pengangkutan jarak jauh. Petani akan mulai memanen 60 hari setelah tanam dan berlangsung hingga 14 bulan kalau perawatan intensif masa panen lebih lama lagi.

Cabai, meski bentuknya kecil, tapi jangan sepelekan rasanya, tapi kini bukan hanya rasa cabai yang pedas, harganya pun semakin menyengat. Para pengusaha kuliner, apalagi yang berskala kecil semakin menjerit, mau tak mau menaikkan harga jual, karena tak mungkin bertahan dengan harga lama.

Saat ini cabai rawit lokal segar di pasaran naik Rp 91.700 dari harga sebelumnya yang hanya Rp 86.700 per kilogram. Bukan hanya cabai rawit lokal yang terpantau ada kenaikan harga di cabai merah besar sebelumnya 50 ribuan per Kilo kini sudah Rp 67.200 per Kilo. Selain cabai merah besar, juga naik cabai merah keriting segar. Yang dulu harganya Rp 60 ribu kini Rp 61.100 per kilogramnya, kini naik lagi menjadi Rp 62.200.

Bagi pedagang nasi kuning, cabai kering sangat diperlukan tiap hari untuk bumbu ikan lauk nasi kuning. Demikian pula cabe rawit sebagai sambel untuk jenis makanan lontong yang dijual bersama nasi kuning.

Mungkin bagi yang memiliki pekarangan dapat mengatasi mahalnya cabai dengan menanam sendiri, sehingga tak perlu dipusingkan dengan meroketnya harga si kecil ini.

Meski hanya skala kecil, paling tidak tanaman cabai Anda bisa membantu mengurangi pengeluaran yang semakin membengkak di tengah lonjakan harga bahan-bahan pokok. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Aneh Tapi Waras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved