Korupsi di Kalsel
Sidang Dugaan Korupsi Mantan Bupati Tanbu Mardani Maming, Ahli Perdata dan Pidana Dihadirkan
Penasihat hukum terdakwa Mardani H Maming korupsi kasus IUP tambang batu bara hadirkan guru besar perdata dan ahli hukum pidana di Pengadilan Tipikor.
Penulis: Achmad Maudhody | Editor: Alpri Widianjono
BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - Sidang perkara dugaan korupsi yang menyeret mantan Bupati Tanah Bumbu (Tanbu), Mardani H Maming, sebagai terdakwa dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Kamis (22/12/2022).
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Heru Kuntjoro, dihadiri terdakwa secara virtual yang didampingi tim penasihat hukumnya.
Pada sidang kali ini, tim penasihat hukum terdakwa dipimpin Abdul Qodir yang menghadirkan dua saksi ahli, yaitu Guru Besar Hukum Perdata, M Kholidin, dan ahli hukum pidana, Choirup Huda.
Pada sidang ini banyak dibahas seputar teknis legal suatu badan hukum, khususnya perseroan terbatas (PT).
Di bawah sumpah, Kholidin menyampaikan, mengacu pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian bersifat terbuka.
Baca juga: Angkut 272 Karung Pupuk Bersubsidi, Dua Pria Tabalong Diamankan saat Menuju Kaltim
Baca juga: BPK Seiras HST Bersihkan Ceceran Solar di Jalan Nasional yang Bikin Belasan Pengendara Terjatuh
Baca juga: Diduga Mobil Tangki Bocor, Solar Berceceran di Jalan Sungai Rangas HST, Belasan Pengendara Terjatuh
Artinya, setiap orang atau badan hukum memiliki kebebasan untuk membuat suatu perjanjian. Perjanjian ini bisa dilakukan antara perorangan dengan badan hukum, perorangan dengan perorangan atau badan hukum dengan badan hukum.
"Perjanjian mengikat seperti Undang-Undang. Dalam kapasitas misalnya seorang direktur mewakili badan hukum maka badan hukumnya yang terikat perjanjian," ujarnya.
Selain itu, perihal mekanisme pembagian deviden dalam suatu PT juga ditanyakan kepada ahli khususnya oleh Tim Penasihat Hukum terdakwa.
Ahli mengatakan, mengacu pada Undang-Undang PT, pembagian deviden terhadap para pemegang sahamnya ada dua jenis yakni deviden sementara dan deviden final.
Deviden sementara dapat dibagikan atas kebijakan direksi tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Baca juga: Kapolresta Banjarmasin Tinjau Kesiapan Posko Terpadu Angkutan Laut Natal dan Tahun Baru 2023
Baca juga: Kecelakaan Lalu Lintas di Lingkar Selatan Gambut Kalsel, Pengendara Sepeda Motor Tewas
"Bisa saja dibayarkan sebulan sekali, per triwulan, per semester itu bisa saja. Asalkan syaratnya PT itu memiliki keuntungan. Jika ternyata merugi, deviden sementara itu bisa ditarik kembali," terang ahli.
Sedangkan deviden final, dibagikan berdasarkan hasil RUPS dan keuntungan tak bisa lagi ditarik.
Sedangkan saksi ahli kedua, Choirul memaparkan terkait hakikat dari Pasal 12 huruf (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ahli mengatakan, Pasal 12 huruf (b) mengatur tentang suap pasif yakni penerimaan suap atau hadiah oleh penyelenggara negara atau PNS karena telah berbuat atau tidak berbuat sesuatu dan bertentangan dengan tanggungjawabnya.
Sedangkan pada Pasal 11 Undang-Undang yang sama, tidak dipersyaratkan adanya perbuatan oleh penerima suap tapi bisa saja hanya didasari keyakinan si pemberi menyangkut kewenangan dan kekuasaan penerima suap.
Baca juga: Disbudporapar Usulkan Rumah Adat Banjar di Teluk Selong Jadi Cagar Budaya Level Provinsi Kalsel
Baca juga: Syarat Pendaftaran Seleksi CPNS 2023, Simak Pula Berkas yang Disiapkan
Ditekankan pula, delik suap adalah berpasangan antara pemberi dan penerima yang artinya harus dibuktikan adanya kesepahaman pemikiran antara pihak pemberi dan pemerima suap.
Ini diakui ahli menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan pembuktiannya jika salah satu atau dua belah pihak tidak lagi dapat dimintai keterangannya, contohnya jika meninggal dunia.
"Itu masalah pembuktian, walaupun demikian (salah satu pihak meninggal dunia) bukan berarti tidak bisa dibuktikan," ujar ahli.
Dalam perkara ini, Mardani H Maming didakwa telah menerima suap mencapai ratusan miliar rupiah dari Mantan Direktur PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN), almarhum Henry Soetio dalam rentang 2014 hingga 2021.
Didalilkan Jaksa dalam dakwaan, pemberian itu merupakan balas jasa dari Henry kepada terdakwa karena telah membantu memuluskan peralihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi (OP) batubara di kawasan Kabupaten Tanbu dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT PCN Tahun 2011.
Dana Rp 118 miliar yang diduga suap itu, dialirkan melalui sejumlah entitas perusahaan yang terafiliasi dengan terdakwa.
(Banjarmasinpost.co.id/Achmad Maudhody)