Opini
Tren Thrifting dan Ekonomi Sirkular
Di tengah meningkatnya tren belanja barang bekas (thrifting), pemerintah Indonesia melakukan pelarangan perdagangan baju bekas impor
Oleh: R Wulandari Pemerhati Masalah Ekonomi dan Bisnis Berkelanjutan
BANJARMASINPOST.CO.ID - Bukan hanya menghemat uang, berbelanja barang-barang bekas juga mendorong terciptanya pola konsumsi berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan.
Di tengah meningkatnya tren belanja barang bekas (thrifting), pemerintah Indonesia justru gencar melakukan pelarangan perdagangan baju bekas impor. Pemerintah beralasan bahwa impor baju bekas dapat merusak produsen dalam negeri dan UMKM tekstil di Indonesia.
Larangan tersebut sejalan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Kementerian Perdagangan RI sebelumnya telah memusnahkan baju bekas impor senilai Rp 8,5 miliar hingga Rp 9 miliar. Sebagian baju bekas impor itu dibakar di Kawasan Pergudangan Grasia, Karawang, Jawa Barat.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, seperti dikutip berbagai media, telah menegaskan bahwa pemerintah tidak akan melarang bisnis baju bekas di dalam negeri, seperti thrifting. Menurut Zulkifli, sesuai peraturan, yang dilarang adalah mengimpor baju bekas karea berisiko terhadap kesehatan dan merusak industri dalam negeri.
Tak Hanya Menghemat Tren belanja barang bekas atau thrifting, terutama di bidang pakaian, memang semakin meningkat akhir-akhir ini.
Keberadaan sejumlah situs web dan aplikasi penyedia thrifting makin menyuburkan bisnis ini. Ada yang memperkirakan bahwa pasar pakaian bekas global bakal tumbuh tiga kali lebih besar pada tahun 2026 mendatang.
Thrifting berasal usul dari kata thrift. Cambridge Dictionary mendefinisikannya sebagai the careful use of money, especially by avoiding waste and saving money for the future.
Adapun Webster Dictionary memberi definisi sebagai careful management especially of money. Jadi, intinya, thrifting adalah kehati-hatian dalam membelanjakan uang. Dengan begitu, kita dapat menghemat dan menghindari pemborosan.
Berbelanja barang-barang seken atau barang-barang bekas sudah barang tentu dapat menghemat uang. Pasalnya, harga barang-barang bekas umumnya lebih miring dibanding dengan harga barang-barang barang baru yang masih gres.
Namun, membeli barang-barang bekas sesungguhnya bukan hanya dapat menghemat uang kita. Tetapi juga dapat menghemat sumber daya yang pada gilirannya ikut mengurangi tingkat kerusakan lingkungan.
Menurut Johnsen (2019), produksi tekstil meyumbang 10 persen dari total emisi karbon global, setara dengan yang dihasilkan Uni Eropa.
Selain itu, juga menyedot banyak sumber air bersih dan juga mencemari sungai. Bahkan sekadar mencuci pakaian, kita bisa melepaskan 500.000 ton serat mikro ke laut setiap tahunnya, setara dengan 50 miliar botol plastik.
Laporan Quantis International 2018, seperti dikutip laman earth.org, menemukan bahwa tiga pendorong utama dampak polusi global dari industri tekstil adalah proses pewarnaan dan finishing (36 persen), penyiapan benang (28 persen), dan produksi serat (15 persen).
Laporan tersebut juga menyimpulkan bahwa produksi serat memiliki dampak terbesar pada pengambilan air bersih dan kualitas ekosistem karena proses budidaya kapas, sedangkan tahap pencelupan dan finishing, penyiapan benang, serta produksi serat memiliki dampak tertinggi pada penipisan sumber daya, karena proses intensif energi yang berbasis bahan bakar fosil.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.