Opini Publik
RUU Kesehatan Ancam Keselamatan Masyarakat
RUU Kesehatan membuat tenaga kesehatan menjadi takut untuk memberi pelayanan karena sanksi pidana dalam RUU Kesehatan pasal 462 ayat 1 dan 2
Oleh: dr H Milhan, SpOG, Subsp.Obginsos, MM Ketua IDI Tapin/Direktur RSUD Datu Sanggul
BANJARMASINPOST.CO.ID - Sebuah ilustrasi jika Rancangan Undang Undang Kesehatan (RUU) Kesehatan diberlakukan: “Seorang pasien hamil cukup bulan mengeluh perutnya kencang-kencang dan tiba-tiba pusing, pandangan kabur, karena tekanan darah tinggi, datang ingin melahirkan ke praktik bidan mandiri.
Lalu bidan bilang ke pasien dan keluarga, “Maaf bu, maaf Pak, kami tidak berani memberi pertolongan, takut terjadi apa-apa pada ibu dan bayi, nanti kami dipenjara.”
Lalu pasien dan suaminya pergi ke rumah sakit. Di Rumah sakit dokter jaganya bilang, “maaf kami tidak berani melayani, karena dokter kandungannya juga ragu-ragu memberi pelayanan pada pasien melahirkan, khawatir dipidana jika pasien terjadi apa-apa atau meninggal.
Ke rumah sakit lain pun begitu. Akhirnya pasien ini pergi ke rumah sakit swasta di kota besar dengan biaya yang besar karena dokternya ikut asuransi profesi dengan premi yang lumayan mahal.
Berangkat dari ilustrasi di atas, RUU Kesehatan membuat pemberi pelayanan kesehatan atau tenaga kesehatan menjadi takut untuk memberi pelayanan karena sanksi pidana dalam RUU Kesehatan pasal 462 ayat 1 dan 2.
Pasal dalam UU tersebut berbunyi sebagai berikut: Ayat 1: “Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun”. Dan ayat 2: “Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Seandainya ini musim covid-19 ada kemungkinan tidak ada yang berani menolong pasiennya. Karena sudah berpotensi tertular penyakit mematikan, ditambah risiko tuntutan jika gagal mengobati. Yang rugi akhirnya masyarakat.
Oleh sebab itu, menurut Slamet Budiarto, Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat, RUU Kesehatan dinilai mengancam keselamatan masyarakat, memecah belah organisasi profesi, mempersulit birokrasi tenaga kesehatan, kriminalisasi tenaga kesehatan, kapitalisme kesehatan, menjadikan menteri kesehatan super power.
Jika tetap ingin diberlakukan maka jangan mencabut Undang-Undang (UU) Praktik Kedokteran, karena di semua negara ada UU Praktik Kedokteran, kalau ini dicabut merupakan suatu kemunduran.
Di RUU kesehatan ini juga terjadi perubahan sistem pendidikan kedokteran spesialis dari semula diselenggarakan universitas (university based) menjadi hospital based (rumah sakit sebagai penyelenggara pendidikan).
Hal ini perlu diskusi dan pembahasan lebih mendalam mulai dari kewenangan, kesiapan regulasi, infrastruktur dan sumber daya, karena selama ini rumah sakit berfungsi memberi pelayanan yang berkualitas dan pemerataan kesehatan.
Bila ingin menaikan jumlah spesialis bukan mengganti sistem, akan tetapi meningkatkan jumlah tanpa mengesampingkan kualitas.
Penerimaan bisa ditingkatkan dengan meningkatkan beasiswa, atau menambah rumah sakit pendidikan utama yang menjadi pusat pendidikan.
Jelas dalam RUU Kesehatan ( omnibus law) pada pasal 183 yang menekankan hospital based, ini kami tidak habis pikir dengan menempatkan pendidikan di pundak rumah sakit yang nota bene harus konsentrasi pada keselamatan pasien.
Beban yang sudah ada akan ditambah dengan beban pendidikan yang sangat penting dan berat, karena harus membuat kurikulum, pelaksanaan pendidikan, pengawasan pendidikan serta ujian dan lain-lain yang memerlukan keahlian khusus.
Sistem yang selama ini sudah dengan baik, kolaborasi antar fakultas kedokteran, rumah sakit pendidikan dan kolegium dan hasilnya bisa kita nikmati dan rasakan sejak negeri ini berdiri, dan secara sepihak akan diganti dengan hospital based.
Kami menangkap ketergesa-gesaan Kemenkes tanpa memperhatikan kekhususan pendidikan kedokteran, yang memang memerlukan perundangan khusus, tapi kemenkes melakukan simplifikasi.
Permasalahan kesehatan di Indonesia akan terpusat ke Kementerian Kesehatan jika RUU Kesehatan disahkan tanpa revisi, termasuk masalah pendidikan dokter, rekomendasi penempatan dokter di daerah.
Proses pengesahan hendaknya beretika dan bertanggungjawab dengan melibatkan berbagai organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan lain-lain.
Undang-undang akan berlaku untuk orang banyak dan memakan waktu cukup lama karena perlu penyempurnaan yang baik dalam penyusunannya dengan mengikutsertkan masyarakat dan organisasi profesi dan stake holder lainnya.
Surat Tanda Registrasi (STR) -dalam RUU Kesehatan ini- diusulkan agar berlaku seumur hidup Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto berpendapat sesuaikan dengan aturan awal yakni berlaku lima tahun karena berkaitan dengan data nasional.
Dengan STR yang merupakan pencatatan data se Indonesia, kalau berlaku seumur hidup kelemahannya adalah kalau ada dokter yang meninggal atau tidak praktik lagi.
Belum lagi deteksi dokter baru. Secara statistik akan kurang pas. Yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah persyaratan untuk STR sebaiknya mudah dan cepat.
Dalam RUU Kesehatan penentuan kompetensi untuk memperoleh SIP harus melalui Kementerian Kesehatan. Hal ini akan sangat aneh karena rata-rata pegawai Kemenkes tidak membuka praktik kedokteran sehingga seharusnya kompetensi ini tetap ada di ranah profesi.
Hal lain yang harus dibahas dalam penyusunan RUU Kesehatan, yakni memperhatikan permasalahan mendasar dalam sistem kesehatan Indonesia, yakni mengenai sistem pembiayaan, pelayanan, dan pendidikan kesehatan.
Diperlukannya dokter-dokter yang mau mengabdi di daerah terpencil, dan perlu perlindungan secara fisik maupun secara hukum.
Tanpa adanya perlindungan bagi mereka, dikhawatirkan para tenaga kesehatan akan lebih condong untuk menerapkan praktik kesehatan berbiaya tinggi sebagai bagian dari upaya perlindungan diri sendiri terhadap hukum.
Hal lain yang belum tercakup pada RUU Kesehatan adalah upaya untuk tidak terjadi kecenderungan kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan yaitu kecenderungan untuk dengan mudah setiap dugaan pelanggaran praktik dimasukkan ke ranah pidana.
Perlu disusun ketentuan peraturan perundang-undangan yang jelas dan definitif untuk memilah pelanggaran pidana, pelanggaran perdata, dan pelanggaran administrasi pada pelayanan kesehatan.
Jadi memang perlu dilakukan revisi RUU Kesehatan dengan melibatkan insan kesehatan, organisasi profesi kesehatan, dan lain-lain sebelum dijadikan UndangUndang Kesehatan.(*)
| Refleksi Hari Santri Nasional, Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Pendidikan di Tengah Disrupsi Zaman |
|
|---|
| Hari Kebudayaan Nasional dan Urgensi Penguatan Budaya Digital |
|
|---|
| Menilik Perbedaan Pajak Pusat dan Pajak Daerah |
|
|---|
| Dilematik Pengembalian 30.000 Artefak Indonesia dari Belanda |
|
|---|
| September Hitam: Bayang Panjang di Tengah Demokrasi |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/banjarmasin/foto/bank/originals/1_Direktur-RSUD-Datu-Sanggul-Rantau-dr-Milhan.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.