Opini Publik

Fenomena Kekerasan Anak

Guru, pengelola media dan orangtua bertanggung jawab atas fenomena anak-anak melakukan tindak kekerasan.

Editor: Alpri Widianjono
ISTIMEWA
Pemerhati pendidikan, Irma Suryani. 

Oleh: Irma Suryanim Pemerhati Masalah Pendidikan

BANJARMASINPOST.CO.ID, BANJARMASIN - AKSI-aksi kekerasan di negeri ini bukan saja dilakukan oleh orang dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anak-anak.

Baru-baru ini, misalnya, publik sempat dikejutkan oleh berita tewasnya seorang siswa SD di Sukabumi, Jawa Barat, setelah dianiaya oleh beberapa temannya.

Laporan media menyebutkan bahwa aksi penganiayaan terhadap korban ini diduga terjadi pada 15 dan 16 Mei 2023.

Korban yang duduk di bangku kelas 2 SD ini dianiaya oleh kakak kelasnya dan beberapa teman seangkatannya. Aksi penganiayaan terjadi di sekitar lingkungan sekolah.

Beberapa waktu lampau, kita sempat pula dihebohkan oleh beredarnya sebuah video berisi aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah pelajar SMP terhadap seorang siswa SD, di Thamrin City, Jakarta Pusat.

Dalam video yang diunggah di Instagram dan kemudian menjadi viral itu, terlihat seorang anak perempuan berseragam putih-putih mendapat perlakuan kasar dengan jalan dijambak rambutnya dan disuruh mencium tangan serta kaki salah seorang pelaku.

Lebih tragis, ada kasus seorang guru di Torjun, Sampang, Madura, Jawa Timur, dipukul oleh muridnya hingga meninggal dunia.

Kejadiannya bermula dari kekesalan guru yang memuncak karena murid bersangkutan membuat gaduh kelas dan mengganggu siswa-siswa lainnya pada saat jam pelajaran seni lukis.

Meski sudah ditegur, si murid rupanya tidak menghentikan aksinya membuat gaduh kelas dan mengganggu siswa lainnya.

Mungkin karena semakin kesal, guru pun menindaknya dengan mencoret pipi si murid dengan kuas lukis.

Tindakan tersebut sontak membuat si murid marah dan lantas memukul membabi buta bagian kepala gurunya.

Peristiwa-peristiwa tersebut di atas sungguh memprihatinkan dan mencoreng jagat pendidikan kita.

Dunia pendidikan yang seharusnya bebas dari kekerasan ternyata malah kian kental dengan aksi-aksi kekerasan.

Kita semakin prihatin, karena anak-anak kita kini malah menjadi pelaku utama kekerasan itu sendiri.

Pertanyaannya adalah, mengapa virus kekerasan semakin mudah menghinggapi anak-anak kita sekarang ini?

Secara umum, anak-anak bisa diibaratkan seperti kertas putih.

Mereka dapat dengan mudah dibuat menjadi tetap putih, berubah merah atau malah menjadi sama sekali hitam. Itu semua bergantung kepada siapa mereka mencontoh.

Seperti kita ketahui, salah satu perilaku tipikal anak-anak adalah mudah meniru apa-apa yang mereka lihat dan alami sehari-hari.

Menurut hemat penulis, sedikitnya ada tiga pihak yang paling bertanggungjawab yang menyebabkan anak-anak kita saat ini semakin akrab dengan budaya kekerasan. Ketiga pihak itu, yakni guru, pengelola media dan orangtua.

Tidak bisa dipungkiri, hingga sekarang ini masih banyak guru kita yang baik secara sadar atau tidak sadar, menanamkan bibit kekerasan kepada anak-anak kita, baik itu berupa kekerasan verbal maupun kekerasan fisik.

Tidak sedikit guru kita yang suka mengumbar bentakan, makian atau hardikan kepada siswa-siswa mereka.

Pun tidak sedikit guru kita yang masih memilih untuk memberikan hukuman fisik dengan dalih menegakkan disiplin serta aturan di lingkungan sekolah.

Padahal, di sejumlah negara, hukuman fisik telah lama dihilangkan dari sekolah.

Para guru dilarang sama sekali memberikan hukuman fisik, apa pun alasannya, kepada para siswanya. Karena, bagaimanapun, tugas sekolah dan para guru bukan untuk menghukum anak, tetapi justru untuk mendidik anak.

Mendidik tidak harus selalu dengan pemberian hukuman, apalagi hukuman fisik.

Kajian selama 30 tahun yang dilakukan antara lain oleh Murray Straus dari Universitas New Hamspshire dan Joan Durrant serta Susan Wingert dari Universitas Manitoba, Amerika Serikat, atas penerapan hukuman fisik kepada anak-anak di sekolah menghasilkan kesimpulan bahwa hukuman fisik justru meningkatkan tindakan agresif dan perilaku anti-sosial di kalangan anak-anak.

Selain guru, para pengelola media, khususnya pengelola stasiun televisi, adalah pihak yang juga ikut bertanggung jawab atas semakin merajalelanya kekerasan di kalangan anak-anak kita.

Tidak ada yang bisa membantah bahwa stasiun-stasiun televisi kita sarat dengan tayangan-tayangan kekerasan.

Tengoklah, misalnya, sinetron-sinetron kita di mana aneka bentuk kekerasan tertayang dengan gamblang di sana.

Tentu tayangan-tayangan itu berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter dan perilaku anak-anak kita.

Sebagaimana kita ketahui, anak-anak sangat mudah meniru apa-apa yang dilihat dan didengarnya.

Maka, tayangan-tayangan di televisi kita yang berisi adegan-adegan kekerasan itu akan dengan mudah pula diimitasi dan dipraktikkan oleh anak-anak kita di dalam dunia nyata mereka.

Belum lagi tayangan kekerasan yang ada di kanal media sosial.

Namun yang juga ikut semakin memudahkan menyebarnya virus kekerasan di kalangan anak kita, yaitu kecenderungan makin sibuknya para ibu saat ini.

Akibatnya, mereka tidak punya cukup waktu untuk mengasuh dan mendidik anak-anak mereka di masa usia emas.

Pengasuhan dan pendidikan anak direntang usia emas mereka lantas cukup diserahkan kepada pihak lain.

Akibatnya, anak pun kehilangan panutan ideal yang mampu memberi teladan dalam berperilaku.

Anak kemudian lebih cenderung mengambil role model dari pihak-pihak lain, entah tetangga, pembantu, kawan bermain atau bahkan dari tayangan-tayangan di televisi maupun media sosial.

Celakanya, kebanyakan yang anak-anak kita jadikan role model itu justru malah mencontohkan hal-hal yang tidak baik dan tidak benar.

Kita tidak berharap sama sekali anak-anak kita akan semakin akrab dengan budaya kekerasan.

Oleh karena itu, guru, pengelola media dan orangtua harus selalu mampu memberikan contoh-contoh perilaku nonkekerasan.

Khusus untuk para orangtua, terutama kaum ibu, mereka diharapkan agar lebih telaten mengasuh dan mendidik anak-anak mereka sendiri ketimbang menyerahkan pengasuhan dan pendidikan anak kepada pihak lain.

Anak-anak adalah generasi harapan bagi bangsa dan negara ini.

Di pundak merekalah baik dan buruknya nasib bangsa dan negara ini dipertaruhkan.

Karenanya, guru, pengelola media dan orangtua harus senantiasa memberikan teladan terbaik bagi mereka. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Sampah Tanpa TPA

 

Renungan untuk TNI

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved